WahanaNews.co, Jakarta – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center atau Pusat Rehabilitasi Korban NII, Ken Setiawan angkat bicara terkait penangkapan satu keluarga yang terdiri Bapak, Ibu dan Anak di Malang Jawa Timur dan beberapa penangkapan terduga teroris di daerah lain belum lama ini di Jawa Tengah.
Rata-rata mereka terpapar paham radikalisme dan terorisme itu disebabkan belajar dengan guru yang salah, sehingga tafsir agama dan kitab sucinya pun ikut salah terutama dalam memaknai arti kata kafir dan jihad.
Baca Juga:
Pernah Dipimpin Panji Gumilang, 121 Mantan Anggota NII Ikrar Kembali Ke NKRI
Menurut Ken, terdapat dua doktrin sacral yang sering kali mendasari aksi-aksi radikalisme dan terorisme berbaju ideologi agama, yaitu kafir dan jihad. Doktrin Kafir disematkan kepada mereka yang berbeda agama, pokoknya yang berlainan agama, maka semuanya wajib diperangi dan dibunuh, aksi ini mereka sebut sebagai jihad, ini sangat bahaya.
“Lihat saja motif HOK terduga pelaku terorisme di Batu Malang itu. Ia tidak akan sampai berani berencana meledakkan diri di rumah ibadah kalau ia tidak meyakini bahwa orang di luar agamanya itu kafir,” kata Ken Setiawan, kepada WahanaNews.co, Minggu (04/8/2024).
Kata Ken, remaja 19 tahun seperti HOK sebetulnya adalah makanan empuk jaringan teror. Ia adalah target utama propaganda dengan memanfaatkan fase pencarian identitas yang lazim dijalani oleh seseorang dalam kelompok umur tersebut.
Baca Juga:
Panji Gumilang Jadi Tersangka, Pengamat Terorisme: Mahfud MD Layak Jadi Presiden RI
Berita mengenai zero terrorism attack pada tahun 2023 menurut Ken jangan selalu dibincang sebagai pencapaian, tetapi sebagai alarm bahwa aliran air yang tenang juga tetap menyimpan potensi bahaya.
“Banyak kasus saat ini yang diterima NII Crisis Center tantang fakta bahwa anak muda sangat rentan teradikalisasi itu lewat media sosial, jadi tanpa bergabung dalam kelompok teror pun orang dapat terpapar virus radikalisme lewat medsos,” tambah Ken.
Bila sudah terpapar paham radikalisme, mereka hanya perlu menemukan mentor yang nantinya akan mengarahkannya kepada tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri dan semacamnya, bahkan jika sudah teradikalisasi tanpa jaringan teroris pun mereka juga berpotensi melakukan aksi teror lone wolf.
Jika sudah masuk dalam fase bom bunuh diri, biasanya seorang teroris sudah sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah jihad yang merupakan sebuah kebenaran.
“Diharapkan aparat meningkatkan kewaspadaan jelang pesta demokrasi pilkada serentak, sebab kemungkinan di event itu para teroris diprediksi akan melakukan aksinya,” tutup Ken.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar mengatakan tidak ada keterlibatan orang tua dalam rencana bom bunuh diri di Batu, Malang, Jawa Timur.
HOK, merupakan remaja berusia 19 tahun dan disebut sebagai simpatisan Daulah Islamiyah. Sehingga, orang tua HOK dimintai keterangan oleh polisi.
"Tidak ada bahan peledak atau bom yang dibawa oleh orang tua tersangka," kata Aswin dalam keterangannya, Sabtu (3/8).
"Jadi orang tua tersebut saat ini masih dimintai keterangan untuk mendalami profil dari tersangka dan kasus ini tersendiri."
Sementara itu, HOK disebut membeli semua bahan peledak secara daring. Dia juga menggunakan uang sendiri yang sengaja ditabung dari uang jajan yang diberikan orang tuanya.
Semua bahan peledak itu dibeli melalui situs jual beli online. HOK juga mempelajari cara membuat bom dari berbagai situs ataulaman di internet.
"Kemudian yang bersangkutan juga mendapatkan informasi-informasi dari media sosil, sehingga muncul perasaan ingin melakukan bom bunuh diri tersebut," katanya.
HOK ditangkap pada Rabu (31/7) di daerah Batu, Malang, Jawa Timur malam hari. Saat ditangkap, HOK kedapatan sedang berusaha membuang semua bahan-bahan peledak yang dia kumpulkan atau sedang berusaha membuang barang bukti.
Ia disebut berbaitan kepada Daulah Islamiyah ISIS dan melakukan baiat secara daring.
Densus 88 Antiteror Polri memastikan rencana teror yang hendak dilakukan tersangka teroris HOK (19) di Batu, Malang, Jawa Timur, tidak terkait agenda kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September.
[Redaktur: Alpredo Gultom]