WahanaNews.co | Berbagai langkah dan upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani perkebunan (pekebun) kelapa sawit, diantaranya melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). PSR tidak hanya mengganti tanaman tapi juga memperbaiki cara budidaya mengikuti Good Agriculture Practices (GAP).
Hal tersebut mengemuka saat Webinar dan Live Streaming Seri 5 bertema “Dampak Positif Program Sarpras dan Pengembangan SDM Bagi Petani Sawit” yang diselenggarakan Media Perkebunan didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di Jakarta.
Baca Juga:
Pemerintah Gelontorkan Rp8,5 Triliun untuk Peremajaan Sawit dari 2017 hingga 2023
Dalam webinar tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto membenarkan bahwa berbagai langkah terus dilakukan agar realisasi PSR bisa lebih luas lagi.
“Salah satu diantaranya, penyederhanaan persyaratan dan ketentuan contoh dulu 4 hektar per KK (Kepala Keluarga), sekarang 4 hektar per pekebun, tapi jalurnya masih dua yakni melalui dinas atau rekomtek (rekomendasi teknis) dan kemitraan. Jadi melalui jalur rekomtek masih bisa,” jelas Heru.
Heru menerangkan, jalur dinas yakni verifikasi hanya satu kali pada dinas kabupaten lalu dinas provinsi hanya menyampaikan usulan dilanjutkan ke Ditjen Perkebunan lalu ke BPDPKS.
Baca Juga:
Bantuan PSR Rp 90 Miliar untuk Petani Sawit Sanggau Masih Proses Verifikasi
Sedangkan jalur kemitraan yakni petani dengan kelembagaan pekebun dikirimkan langsung ke BPDPKS, diverifikasi surveyor independen, lalu BPDPKS yang akan menindaklanjuti prosesnya.
“Dua jalur tersebut ditempuh dalam rangka mempercepat program PSR. Meski begitu sebenarnya perusahaan juga sudah diminta untuk membantu kelompok-kelompok tani binaannya atau plasmanya agar pekebun mengikuti program PSR. Jadi melalui kemitraan antara pekebun dan perusahaan PSR bisa didorong,” terang Heru.
Di sisi lain, Heru berharap melalui kemitraan, penerapan GAP yang dimiliki oleh perusahaan bisa ditularkan ke pekebun. Pada ujungnya yang harus menampung tandan buah segar (TBS) milik petani juga adalah perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang bermitra dengan petani.
Petani membutuhkan perusahaan sebagai penampung TBS dan PKS mebutuhkan TBS pekebun sebagai bahan baku, sebab jumlah TBS milik perusahaan tidak mencukupi kebutuhan PKS terlebih saat masa buah trek.
Bahkan Heru mengakui saat harga TBS jatuh, petani yang melakukan kemitraan baik pola inti plasma atau pola kemitraan melalui koperasi harganya relatif stabil, atau sekalipun harga TBS-nya mengalami penuranan tidak jatuh secara drastis jika dibandingkan dengan petani yang tidak melakukan kemitraan dengan perusahaan.
Heru mengatakan, perusahaan diharapkan bisa membantu dalam mewujudkan PSR dari mulai rekomendasi petani binaannya, petani memasok PKS mitra melalui koperasi ataupun melalui pola inti-plasma, sehingga PSR bisa terlaksana dengan cepat.
“Kemudian perusahaan juga bisa membantu dalam menyediakan benih, atau bahkan bisa dituangkan dalam kerjasama PSR tersebut,” terang Heru.
Sementara itu, Kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan, Provinsi Aceh, Cut Huzaaimah menyambut baik adanya porgram PSR dan bantuan sarana dan prasarana (Sarpras) yang diluncurkan oleh BPDPKS yang melibatkan lintas Kementerian dan Lembaga seperti Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Luas perkebunan di Aceh saat ini ada sekitar 1 juta hektar (Ha). Dari angka tersebut seluas 50 persenya adalah perkebunan kelapa sawit dan dari 50 persen tersebut seluas 47 persennya adalah perkebunan kelapa sawit milik perusahaan dan sisanya milik petani perkebunan (pekebun) kelapa sawit.
Rekomtek di Aceh untuk PSR tahun 2018 sekitar 3 ribu Ha, tahun 2019 sekitar 13 ribu Ha, tahun 2020 sekitar 12 ribu Ha, dan 2021 sekitar 2 ribu Ha, dan 2022 1 per Juni sudah 148 Ha.
“Tahun 2020 agak turun karena sedang pemeriksaan aparat penegak hukum (APH). Kemudian kita pelajari kembali surat bebas kawasan hutan bersama DLHK (Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” jelas Cut Huzaaimah.
Program PSR dan bantuan sarpras membantu dinas daerah dalam mendorong perbaikan budidaya dan alat untuk pekebun sehingga pekebun bisa tumbuh berkembang seperti di Aceh.
Bahkan bantuan sarpras yang dahulu 6 Kabupaten, kini menjadi 9 Kabupaten. Adapun luas peremajaan sudah mencapai 300 Ha, pembangunan jalan 950 meter, kemudian bantuan alat trensportasi dan pasca panen hingga bea siswa untuk 28 petani.
Cut Huzaaimah pun membenarkan bahwa dengan adanya bantuan PSR dan sarpras maka sangat membatu petani terlebih biaya peremajaan tidaklah kecil.
“Sebab jika mengandalkan APBD tidaklah cukup sehingga dengan bantuan dari BPDPKS sangat membantu,” kata Cut Huzaaimah. [rsy]