WahanaNews.co | Kelam. Satu kata itu yang terucap dari Ketua Umum Yayasan Nurul Ibad, Kiai Muhammad Syakrim (87), ketika kali pertama mendengar peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang selama ini dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Peristiwa berdarah dalam perjalanan bangsa Indonesia itu masih begitu membekas dalam ingatannya.
Baca Juga:
Jokowi Bersihkan Nama Soekarno dari G30S PKI, Guntur: Dia Nasionalis dan Patriot Sempurna
"Peristiwa G30S/PKI itu kelam, ya kelam," ujar Syakrim, ketika ditemui wartawan di kediamannya, Kelurahan Lubang Buaya, Jumat (1/10/2021).
Syakrim, yang merupakan warga asli Lubang Buaya, tak pernah menyangka jika wilayahnya akan menjadi lokasi pembunuhan terhadap tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada masa pemerintahan Presiden Soekarno itu.
Baca Juga:
Presiden Jokowi Tegaskan Gelar Kepahlawanan Bung Karno
Aktivitas Jelang 30 September 1965
Ia menceritakan, jauh sebelum peristiwa G30S terjadi, perlahan terjadi perubahan aktivitas warga di wilayahnya.
Sebuah wilayah di dekat Bandara Halim Perdanakusuma, yang semula begitu sunyi, perlahan menjadi ramai.
Di jalanan, ia kerap melihat sejumlah truk mondar-mandir yang memasuki wilayah Lubang Buaya, yang kemudian menurunkan sejumlah pemuda.
Pergerakan truk ini berlangsung siang dan malam.
Belakangan, diketahui bahwa para pemuda yang diturunkan dari truk tersebut ternyata bukanlah warga asli Lubang Buaya atau sekitarnya.
Awalnya, Kiai Syakrim sama sekali tak menaruh kecurigaan terhadap aktivitas para pemuda tersebut.
Namun, lama-kelamaan, kecurigaan itu mulai timbul.
Itu terjadi ketika ia tahu bahwa para pemuda tersebut ternyata menjalani sebuah latihan di dekat rumah teman seangkatannya di Sekolah Rakyat, yang diketahui merupakan simpatisan PKI.
Syakrim kemudian semakin curiga ketika puluhan warga di wilayahnya diajak untuk turut serta mengikuti kamp latihan bersama para pemuda tersebut.
Puluhan warga ini kemudian meminta pendapat kepada dirinya sebagai tokoh agama di wilayah itu perihal ajakan para pemuda tersebut.
Saat itu, Syakrim meminta agar mereka tak menerima ajakan untuk mengikuti latihan bersama mereka.
Jawaban yang diberikan Syakrim tersebut bukan tanpa alasan.
Sebab, sebuah pelatihan ala militer seharusnya berpusat di Halim Perdanakusuma yang merupakan pangkalan udara milik TNI Angkatan Udara , bukan di Lubang Buaya.
Kecurigaan inilah yang menjadi dasar agar puluhan warga tersebut tak bergabung dalam pelatihan kelompok tersebut.
"Sebetulnya latihan kan biasanya di Halim, kok beda latihannya, saya minta mereka jangan ikut," kata Syakrim, yang saat itu telah menjadi tokoh warga di wilayahnya.
Di kemudian hari, diketahui bahwa ajakan yang dilakukan pemuda tersebut berkaitan dengan aktivitas PKI.
Pada saat terjadi Gerakan 30 September, ia mengaku melihat sejumlah jenazah dimasukkan ke dalam sumur.
Namun, dia tidak begitu melihat jelas karena saat melihat itu dia kemudian ditodong sejumlah Pemuda Rakyat, yang terafiliasi dengan PKI.
Nasibnya cukup beruntung, karena dia berhasil selamat dan segera meninggalkan lokasi.
Pada Jumat pagi, 1 Oktober 1965, barulah dia mendengar adanya pembunuhan terhadap para jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya.
Lantas, ia mendatangi lokasi itu.
Ia melihat mayat-mayat para jenderal sudah terbaring di atas tanah, setelah sebelumnya sempat dibuang ke dalam sumur tua.
Informasi ini kemudian langsung cepat menyebar di tengah warga di wilayahnya.
Puluhan warga yang sebelumnya meminta pendapat terhadap Syakrim juga menerima kabar terkait pembunuhan para jenderal ini.
Syakrim mengatakan, ketika mendengar peristiwa ini, puluhan warga yang sebelumnya sempat diajak bergabung menjalani latihan kaget.
"Mereka bilang, 'wah benar juga, untung Ustaz larang, kalau masuk (bergabung) bisa ketangkap'. Jadi pada gembira dan terima kasih ke saya," ucap Syakrim.
Memulangkan Warga yang Salah Tangkap
Diketahui, para korban pembunuhan di Lubang Buaya itu, antara lain, Letjen Ahmad Yani, Mayjen TNI Suprapto, Majen TNI S Parman, Mayjen TNI M T Hartono, Brigjen TNI Sutoyo, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Lettu Piere Tendean.
Setelah peristiwa itu pecah, pihak militer kemudian memburu para anggota dan simpatisan PKI yang diduga menjadi dalang dalam peristiwa pemberontakan tersebut.
Dalam perburuan ini, ternyata pihak militer sempat salah tangkap.
Ada delapan warga Lubang Buaya yang diamankan dan dibawa ke Kodam III/Siliwangi.
Mereka diduga merupakan seorang simpatisan PKI.
Penangkapan yang dilakukan pihak militer terhadap delapan warga tersebut sampai di telinga Syakrim.
Ia mengenal kedelapan orang tersebut dan dipastikan tidak berafiliasi dengan PKI.
Syakrim kemudian melaporkan kepada Lurah Lubang Buaya saat itu agar bisa membebaskan delapan warganya.
Ketika melaporkan, yang terjadi saat itu Pak Lurah justru ketakutan.
Lurah tak mau mendatangi Kodam III/Siliwangi karena khawatir ia akan diamankan juga.
Upaya Syakrim untuk membebaskan delapan orang tak berhenti di situ.
Ia kemudian membujuk sang Lurah untuk meminjam jabatannya guna membebaskan kedelapan warga tersebut.
Bujukan tersebut ternyata diterima sang Lurah.
Tak berselang lama, ia kemudian berangkat menuju Bandung untuk membebaskan warga Lubang Buaya dengan mengklaim dirinya sebagai Lurah.
Sesampainya di lokasi, ia kemudian bernegosiasi dan meyakinkan petugas bahwa kedelapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan PKI.
Berjam-jam ia bernegosiasi.
"Mereka selamat, jarang yang bisa ditolong (kalau sudah ditangkap). Alhamdulillah bisa ditolong hanya karena saya ngaku lurah," ujar tokoh Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Nurul Ibad itu.
Gambaran yang Mencekam
Saat membicarakan Lubang Buaya dan Gerakan 30 September, bayangan yang muncul adalah sejumlah adegan pembunuhan yang mencekam, bahkan cenderung sadis.
Gambaran ini dipercaya merupakan kesuksesan dari propaganda Orde Baru melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) besutan sutradara kawakan Arifin C Noer.
Dalam adegan itu terdapat sejumlah kader PKI yang menari sambil menyanyikan lagu "Genjer-genjer".
Ada juga adegan yang memperlihatkan penyiksaan oleh anggota Gerwani, organisasi perempuan yang terafiliasi PKI.
Dilansir dari BBC Indonesia, informasi mengenai adanya penyiksaan selama ini bersumber dari media yang terkait dengan pemerintah dan tentara.
Harian Angkatan Bersendjata, misalnya, yang menerbitkan foto-foto jenazah dengan narasi: "perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusian".
Terkait penyiksaan, sumber ini ditulis Berita Yudha, koran milik tentara, yang menulis: "bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak" masih membalut tubuh-tubuh para korban.
Akan tetapi, hasil otopsi tidak memperlihatkan adanya peristiwa seperti yang digambarkan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau pemberitaan media itu.
Sosiolog Ben Anderson melalui tulisannya How Did The Generals Die pada 1987, menulis hasil otopsi yang dilakukan di rumah sakit tentara pada 4 Oktober 1965.
Otopsi itu ditandatangani oleh Jenderal Soeharto dan Presiden Soekarno.
Dalam laporan otopsi, disebutkan bahwa penyebab kematian mereka karena tembakan senjata api dan trauma yang mungkin disebabkan pukulan dari senjata.
Selain itu, laporan otopsi mencatat kerusakan pada tubuh sejumlah jenderal terjadi karena jenazah mereka terbaring selama sekian lama di dasar sumur yang lembab.
Menurut dokter forensik, inilah yang menyebabkan kondisi mata salah satu korban sangat buruk.
Dalam sebuah wawancara dengan Indoprogress, dokter Liauw Yan Siang yang melakukan otopsi terhadap sejumlah jenderal yang dikubur di dalam sumur di Lubang Buaya juga membantah terjadi penyiksaan.
Sebelumnya, dalam wawancara kepada Majalah D&R edisi 3 Oktober 1998, ahli forensik Universitas Indonesia yang juga terlibat dalam tim otopsi, Prof Dr Arif Budianto, juga membantah adanya penyiksaan.
Dia membantah adanya pemotongan terhadap kelamin para jenderal dan korban penculikan pada G30S.
Terkait adanya kondisi mata yang buruk, hal itu disebabkan kondisi mayat yang terendam, dan bukan karena ada kekerasan atau adegan paksa.
"Memang kondisi mayat ada yang bola matanya copot, tapi itu karena sudah lebih dari tiga hari terendam, bukan karena dicongkel paksa," ucap Arif kepada D&R, yang kini sudah tidak lagi terbit.
"Saya sampai periksa dengan saksama tepi mata dan tulang-tulang sekitar kelopak mata, apakah ada tulang yang tergores. Ternyata tidak ditemukan,” ujar dia. [qnt]