WahanaNews.co |
Akhir 2019 silam, Indonesia digegerkan adanya temuan impor limbah yang
terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) atau limbah berbahaya.
Kala itu, terungkap PT NHI
yang mengimpor 138 kontainer berisi chips,
biji plastik PET, dan staple fibre.
Baca Juga:
Hutan Mangrove: Ekosistem Penting di Kalimantan Utara untuk Perlindungan Pantai
Setelah diperiksa bersama dan
dikoordinasikan dengan KLHK pada tanggal 9 dan 29 Juli serta 2 Agustus 2019,
109 kontainer dinyatakan terkontaminasi sampah atau limbah B3 dan akan
direekspor ke negara asal, dengan rincian 80 kontainer ke Australia, 4
kontainer ke Amerika Serikat, 3 kontainer ke Selandia Baru, dan 22 kontainer ke
Britania Raya.
Mencegah perisitiwa teresebut
berulang, dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) penanganan impor limbah oleh
Kementerian Perdagangan (Kemendag), yang diatur dalam Permendag Nomor 84 Tahun
2019.
Satgas tersebut terdiri dari Ditjen
Bea dan Cukai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kemendag, serta
instansi yang berkaitan.
Baca Juga:
Manfaatkan FABA, PLN Berhasil Hubungkan 10 km Jalan di Sulawesi
Sayang, hingga kini,
penangangan limbah B3, khususnya di kawasan pelabuhan tanah air, masih
berlarut.
Salah satunya timbul karena
belum semua pihak terkait dilibatkan dalam perumusan kebijakan yang berkaitan
dengan penanganan impor limbah B3 ini.
Salah satunya, seperti
terjadi dalam rapat Satgas Impor Limbah 8 Juni lalu, belum melibatkan pengelola
Tempat Penimbunan Sementara (TPS) atau gudang lini 2 di pelabuhan.
"Kami sangat menghargai
upaya yang telah dilakukan oleh Satgas Impor Limbah B3 untuk menyelesaikan masalah
kontainer limbah B3 PT NHI di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun sangat disayangkan
kami para pengusaha (pengelola) TPS adalah pihak yang paling terdampak akibat
berlarut-larutnya penyelesaian kontainer limbah PT HNI, kok nggak diundang dalam rapat Satgas Impor Limbah B3
tersebut," tutur Presdir Agung Logistic, Ryano Panjaitan.
Ia khawatir, kebijakan
penanggulangan impor limbah B3 nantinya bisa tak tepat sasaran lantaran tak
dilibatkannya pengelola TPS di pelabuhan.
Padahal, TPS atau gudang lini
2 punya fungsi penting dalam proses clearence
atau perizinan barang yang akan diekspor maupun diimpor.
Ryano yang juga pemerhati
industri logistik nasional ini berpandangan, bila konidis ini tak segera
disikapi serius, masalah penanggulangan impor limbah B3 bisa semakin berlarut
dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
"Berlarut-larutnya
penyelesaian masalah kontainer limbah impor B3, yang sudah menghabiskan waktu
satu tahun lebih, menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi para pengusaha
TPS. Kalau di hitung, kurang lebih total potensi kerugian dari semua pihak TPS
atau lini 2 bisa mencapai lebih dari Rp 100 miliar, itu pun belum
memperhitungkan opportunity cost,"
tandasnya. [dhn]