WahanaNews.co | Media nasional dan internasional, merujuk pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan, letusan Gunung Semeru mengakibatkan sedikitnya 34 warga meninggal, 17 warga hilang, serta sedikitnya 2.970 unit rumah terdampak, per 7 Desember 2021.
Ribuan warga di hotspot, terutama Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengungsi.
Baca Juga:
Gunung Semeru Kembali Erupsi, Tinggi Abu 700 Meter
Sedikitnya, 38 fasilitas pendidikan terkena dampak dan infrastruktur jalan dan jembatan rusak akibat peristiwa “letusan” Semeru pada 4-5 Desember 2021.
BNPB, media mainstream nasional dan internasional, kompak memberitakan terjadinya letusan atau erupsi Semeru sejak 4 Desember 2021.
Dari asumsi awal soal letusan yang seolah-olah tiba-tiba, Kompas.com misalnya kemudian mengoreksinya dengan menurunkan berita “Ternyata Erupsi Gunung Semeru Tak Terjadi Tiba-tiba, Alam Telah Memberi Tanda.”
Baca Juga:
Status Gunung Semeru Turun Jadi Level III Siaga, Warga Belum Boleh Mendekat
Pertanyaan besarnya: apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa sistem peringatan dini gagal menyelamatkan nyawa penduduk sekitar Semeru?
Makna Status “Siaga”
Sebelum membahas terkait pertanyaan di mana dan mengapa sistem peringatan dini dalam kasus Semeru gagal menyelamatkan 51 warga yang hilang dan meninggal, sangat penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi terkait peristiwa tersebut.
Fakta pertama, Semeru masih dalam status Waspada namun tidak mengalami erupsi (letusan) sesuai pengertian letusan gunung api yang baku, dalam skala letusan berstatus Awas.
Status Semeru berada dalam pemantauan rutin pemerintah, yakni Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Status Waspada ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas vulkanik yang ditandai dengan aktivitas seismik, vulkanik di atas level normal, termasuk aktivitas magma, lava, serta tremor tektonik.
Walau demikian tergantung konteks gunung terkait.
Sedangkan Awas berarti “gunung berapi segera atau sedang meletus atau pada keadaan kritis yang dapat menimbulkan bencana. Tanda-tanda kritis ditandai dengan abu dan uap, berpeluang menjadi letusan dalam waktu kurang lebih 24 jam”.
Secara konsisten, PVMBG mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah Semeru masih berada dalam status Waspada dan status ini tidak berubah sejak 4 Desember.
PVMBG bahkan menyatakan Semeru tetap dalam status Waspada pada 7 Desember 2021.
Kepala PVBMG, Andiani, kepada media mengatakan, kondisi bahaya Semeru tetap berstatus Waspada dan masih berada di bawah tingkat bahaya tiga gunung api berstatus Siaga, yakni Merapi di Yogyakarta, Lewotolok di Nusa Tenggara Timur, serta Sinabung di Sumatera Utara.
Letusan Primer versus Letusan Sekunder
Salah kaprah media dan berbagai lembaga pemerintah terjadi karena kesulitan membedakan ancaman primer dan ancaman sekunder.
Ancaman primer termasuk di dalamnya letusan primer yang diantisipasi dalam status Awas, status tertinggi dalam peringatan dini gunung api.
Sedangkan yang terjadi di Semeru, adalah ancaman sekunder akibat letusan sekunder, yang bisa dipahami sebagai interaksi fisik antara curahan hujan yang mengenai akumulasi lava dan berbagai material pijar dan selanjutnya mengakibatkan awan (debu) panas guguran (APG).
Siaran pers PVBMG menyatakan bahwa karakteristik ancaman khas Gunung Semeru “yakni berupa awan panas yang berasal dari ujung aliran lava pada bagian lereng gunung. Endapan awan panas guguran terdiri dari material batuan bersuhu tinggi 800 sampai 9000 derajat Celcius yang bergerak ke arah lereng tenggara gunung Semeru sejauh sekitar 4 kilometer (km) dari puncak, atau sekitar 2 km dari ujung aliran lava.”
Mantan Kepala PVBMG, Surono, pun kemudian bersuara di berbagai media dengan mengklarifikasi bahwa terminologi yang lebih tepat adalah bukan letusan (primer) tapi sekunder.
Disebut sekunder karena “gunung Semeru mengeluarkan lava terus menerus hingga membentuk kubah lava yang semakin lama semakin membesar dan tidak stabil” yang kemudian sangat berbahaya bila berinteraksi dengan curahan hujan.
Missing link dan Celah Tata Kelola
Ada dua fenomena utama yang bakal terjadi dan tetap berbahaya dari letusan sekunder Semeru.
Pertama, pada aliran atas yakni pada gunung api itu sendiri (hulu), letusan akibat interaksi tersebut di atas akan menimbulkan “sensasi letusan” menghasilkan guguran (awan debu panas) dari kubah lava.
Guguran awan debu panas alias APG ini bila bersentuhan secara langsung pada pada penduduk sekitar, akan berpotensi mematikan.
Kedua, pada sisi aliran bawah atau hilir, di sungai-sungai di sekitar bawah gunung, hujan deras akan membawa sedimen alias lahar yang mewujud sempurna dalam wajah banjir lahar.
Dari pernyataan PVBMG di atas dapat diketahui bahwa manakala awan panas guguran memasuki lembah sungai Kobokan Lumajang dan berinteraksi dengan air sungai beserta material lama yang terdapat di dalam badan sungai, ia akan membentuk aliran lahar sepanjang aliran sungai Kobokan.
Lalu Bagaimana Peringatan Dini Letusan Sekunder?
Terdapat perdebatan dan kontroversi terkait ada atau tidaknya sistem peringatan dini dalam kasus Gunung Semeru.
Setidaknya enam hal penting yang perlu dijelaskan sekaligus dilakukan di Indonesia.
Pertama, dalam klasifikasi Status Gunung Api dari Normal, Waspada, Siaga dan Awas, energi dan fokus seringkali lebih tercurahkan pada ancaman primer gunung api yakni skenario terburuk --letusan primer.
Walau disadari bahwa secara probabilitas (dan terbukti secara empiris di Semeru), “ancaman sekunder” tidak kalah mematikan dan merugikan bila tidak dibangun perencanaan kesiap-siagaan bencana vulkanik secara memadai.
Kedua, karakter ancaman sekunder harus dipantau secara sama seriusnya dengan ancaman primer.
Pemerintah daerah maupun masyarakat wajib membangun sistem peringatan dini yang terhubung antara PVBMG dengan struktur tanggap di tingkat paling bawah yakni desa, RT/RW.
Ketiga, sistem peringatan dini yang sehat harus mampu menyelamatkan nyawa manusia.
Klaim terkait adanya sistem peringatan dini yang berfungsi baik tapi tidak mampu menyelamatkan rakyat sekitar hanya sebuah pernyataan prosedural birokrasi yang elitis dan tidak ada kaitannya dengan perlindungan rakyat.
Keempat, pentingnya secara rutin merawat arsitektur sistem peringatan dini yang end-to-end, yakni dari kelembagaan lapisan atas seperti PVBMG yang terhubung dengan masyarakat akar rumput.
Kelima, proses merawat sistem peringan dini di atas harus dimulai dengan mengurangi sentralitas pemantauan oleh PVMBG saja.
Pemerintah harus mendesentralisasi sistem komunikasi risiko gunung api secara holistik dan terpadu.
Sebagai misal, sistem peringatan dini ini harus bersifat dua arah sehingga pemantauan terhadap faktor sosial secara partisipatif bisa terhubung dengan pemantauan fisik PVMBG.
Lembaga Penanganan Bencana Daerah (PBBD) dan PVMBG perlu secara proaktif bersama masyarakat dan melakukan mitigasi, kesiapsiagaan.
Secara teknis PVMBG perlu memahami secara baik terkait karakter musiman interaksi gunung api dengan iklim dan cuaca ekstrim dan mengkomunikasikannya pada pemerintah daerah dan masyarakat.
Keenam, integrasi antara pemantauan bahaya gunung api dan sistem peringatan dini yang menyertainya, wajib diintegrasikan dengan peringatan dini iklim dan cuaca ekstrim yang dipantau secara terpisah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Integrasi sistem peringatan dini yang ragam ancaman ini dikenal dengan nama multi-hazard early warning system yang dalam konteks Indonesia masih terdapat celah kelembagaan yang masih perlu untuk diselesaikan.
Upaya integrasi sistem peringatan dini di Indonesia lintas ancaman ini tidak mudah diurai secara detail di tingkat regulasi, koordinasi dan perencanaan apalagi di tingkat implementasi.
Tapi pemerintah Indonesia harus segera mengadopsinya untuk menyelamatkan nyawa rakyat di daerah rawan bencana. [dhn]