WahanaNews.co | Nama Ali Kalora, pimpinan kelompok
Mujahidin Indonesia Timur (MIT), diduga kuat terlibat pembunuhan satu keluarga di Dusun Lewono,
Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11/2020).
Sekretaris
Desa Lembantongoa, Rifai, mengatakan, di hari kejadian ada delapan orang yang tak
dikenal mendatangi rumah Ulin pada Jumat, pukul 09.00 WITA.
Baca Juga:
“Main Mata” BPJN II - PT BDP Proyek Tanggul Pengaman Tsunami Kota Palu Pakai Material Ilegal
Mereka
menyandera Ulin dan keluarganya. Lalu delapan orang tak dikenal itu membunuh
korban Yasa dan Pino Nei.
Tiga
orang pelaku membawa sebuah senjata api laras panjang dan dua senjata api genggam.
Ulin
lari menyelamatkan diri ke Desa Lembantongoa. Total ada empat anggota keluarga Ulin yang dibunuh. Mereka
adalah pasangan suami istri, anak, dan menantu. Selain itu ada enam rumah yang dibakar.
Baca Juga:
Bupati Donggala Laruni Banyak ASN ‘Main Proyek’: Sudah Tahu Siapa Saja
Warga
sekitar dusun yang mengetahui kejadian tersebut melarikan diri ke Desa Lembantongoa
karena takut.
Sementara
itu para pelaku mengambil 40 kilogram beras dan membakar kendaraan bermotor.
Ada
sembilan KK atau sekitar 50 orang dari berbagai suku yang tinggal di lokasi
tersebut.
Kepada
saksi, polisi kemudian memperlihatkan foto para DPO teroris MIT, salah satunya
Ali Kalora, yang disebut sebagai pimpinan MIT.
Menurut
Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Abdul Rakhman Baso, saksi membenarkan foto tersebut.
"Saya
luruskan juga, tidak ada gereja yang dibakar. Bukan gereja. Hanya ada satu
rumah yang kadang dipakai untuk melayani umat," kata Kapolda.
Pimpinan
Tertinggi MIT Sejak 2016
Ali
Kalora menjadi pemimpin MIT sejak tahun 2016, menyusul ditangkapnya pentolan
MIT, Basri alias Bagong.
Di tahun
yang sama, Santoso alias Abu Wardah tewas dalam penyergapan aparat keamanan.
Ridlwan
Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, saat wawancara dengan wartawan pada
Rabu (2/1/2019), menilai, Ali Kalora tidak memiliki pengaruh sekuat Santoso, yang
mampu merekrut puluhan orang.
Namun, nama
Ali Kalora mulai disebut-sebut lagi setelah temuan mayat tanpa kepala di
Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng, pada Januari 2019 lalu.
Ia
mengatakan, Ali Kalora memiliki kemampuan bertahan hidup dalam pelarian.
"Dengan
logistik yang terbatas, Ali Kalora bisa menjadi apa saja, menyamar menjadi
warga lokal, bahkan petani dan jalan sejauh itu," tambahnya.
Sosok
Ali Kalora ini, menurutnya, berbeda jauh dengan bekas pemimpin MIT, Santoso,
yang tewas dalam baku tembak dengan TNI-polisi dua tahun lalu.
Yang
disebut terakhir ini memiliki keahlian propaganda. Sedangkan Ali Kalora mampu
menghindar dari kejaran aparat TNI-polisi dengan "menyamar menjadi warga
lokal".
Sementara
itu, Al Chaidar, pengamat terorisme serta staf pengajar di
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, menyakini, Ali Kalora kini merupakan
satu-satunya pemimpin MIT yang tersisa.
Sebagai
pemimpin baru MIT, Ali Kalora disebutnya "tidak memiliki pengaruh yang
kuat seperti Santoso".
"Karena
sepanjang 2018, hanya menyisakan sekitar empat orang anggota, kemudian
bertambah satu orang, sehingga menjadi lima orang," kata Chaidar.
Satu-satunya
"kelebihan" yang diandalkan Ali Kalora adalah kedekatannya
dengan kelompok militan Islam di Mindanao (Filipina) dan Bima (Nusa Tenggara
Barat).
"Dengan
afiliasinya bersama kelompok Mindanao dan Bima, dia bisa merekrut anggotanya dari luar Poso,
termasuk memperoleh senjata api," katanya.
Sementara
itu, pada Februari 2019, polisi menyebut ada tambahan satu orang
anggota baru dalam kelompok Ali Kalora, yakni anak kandung pimpinan terdahulu MIT, Santoso.
Hal
tersebut disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri,
Brigjen Pol Dedi Prasetyo, pada Kamis (14/2/2019).
"Satgas
berhasil mengidentifikasi satu orang DPO lagi yang ikut bergabung ke kelompok
Ali Kalora, yaitu anak kandung Santoso," kata Dedi.
Anggota
baru MIT tersebut masuk dalam DPO. Terkait perekrutan anak kandung Santoso,
Dedi mengatakan hal itu masih dalam proses penelurusan.
"Antara
direkrut dan inisiatif sendiri karena datang ke hutan. Ali Kalora ini lagi
diidentifikasi dan nanti akan segera diterbitkan DPO," kata dia.
Selain
mengidentifikasi anggota baru, Satgas juga telah menangkap seorang kurir yang
diduga terafiliasi dengan kelompok tersebut.
"Satgas
menangkap kurir simpatisan DPO. Ini sudah dilakukan penangkapan kurir-kurirnya
dan dalam pemeriksaan," ujar Dedi.
Para
kurir diketahui bertugas membawa logistik untuk kelompok tersebut dengan
menggunakan karung dan dipikul.
Dedi
mengatakan, logistik tersebut dibawa dengan cara dipikul karena jalur di daerah
tersebut terbatas.
Istri
Ditangkap, 2 Anak Buah Tewas Ditembak
Pada 29
Juli 2020, L alias Ummu Syifa, istri Ali Kalora, ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
Ia
ditangkap di Jembatan Puna, Kasiguncu, Poso Pesisir Selatan, Sulawesi Tengah.
Menurut
keterangan polisi, L menyembunyikan informasi mengenai keberadaan anggota
kelompok tersebut.
"(L)
menyembunyikan informasi tentang keberadaan kelompok teroris yang sudah
ditetapkan di dalam daftar pencarian orang," ucap Kepala Biro Penerangan
Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi Setiyono di Gedung Bareskrim, Jakarta
Selatan, Selasa (18/8/2020).
Peran L
lainnya adalah bergabung dengan kelompok MIT selama 23 hari.
Di hari
yang sama, Densus 88 juga menangkap anggota kelompok MIT yang lain dengan
inisial YS Kalora (21) di Desa Tangkura, Poso, Sulawesi Tengah.
Dari
keterangan polisi, YS berperan mengantarkan calon anggota kelompok MIT hingga
logistik untuk kelompok teroris tersebut.
"Mengantarkan
Iman ke daerah Tangkura untuk bergabung dengan kelompok MIT. Kedua, berencana
mengantarkan uang sebesar Rp 1.590.000 dan makanan atau kue kepada kelompok
MIT," tutur Awi.
Empat
bulan setelah Ummu Syifa ditangkap, terjadi kontak tembak antara Satgas
Tinombala di Desa Bolano Barat, Kecamatan Bolana, Kabupaten Parigi Moutong,
Sulawesi Tengah. Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan November 2020.
Saat
kontak tembak terjadi, dua terduga anggota MIT yang dipimpin Ali Kalora tewas.
Mereka adalah Bojes alias Aan alias Wahid dan Aziz.
Bojez
dan Aziz sudah lama masuk DPO. Bahkan polisi sudah menyebarkan foto mereka di
media sosial. Selain Bojes dan Azis, ada 13 anggota MIT yang masuk dalam
DPO.
Sebelumnya,
sejak Kamis (5/11/2020), polisi dan anggota TNI menyisir rumah warga dan hutan di
Kelurahan Mamboro Barat, Palu, karena ada informasi jika anggota MIT berkeliaran.
Bunuh Satu
Keluarga di Sigi
Tak
lama setelah dua anak buah Ali Kalora tewas ditembak petugas, satu keluarga di
Sigi ditemukan tewas terbunuh pada Jumat (27/11/2020). Diduga kuat Ali Kalora terlibat
pada pembunuhan tersebut.
Selain
di Sigi, Ali Kalora juga terlibat pada penembakan aparat yang sedang membawa
korban pembunuhan RB alias A (34) warga sipil korban mutilasi di kaawasa Desa
Salubunga, Sausu, Parimo, Sulteng, pada 31 Desember 2018.
Kala
itu, aparat ditembaki kelompok Ali Kalora ketika salah seorang
petugas hendak menyingkirkan kayu dan ranting pohon yang menghalangi jalan.
Kontak
tembak aparat dengan kelompok teroris tersebut menyebabkan dua petugas, yakni
Bripka Andrew dan Bripda Basi, terluka.
Kepala
BNPT, Komjen Boy Rafli Amar, dalam Sapa Indonesia Pagi di Kompas
TV, Selasa (1/12/2020), mengatakan, MIT juga terlibat dalam tindak pidana pembunuhan warga di sekitar
Pegunungan Biru, Kabupaten Poso.
Korban
antara lain adalah petani dan seorang purnawirawan TNI di periode antara
Agstus-September 2020.
Menurut
Boy Rafli, MIT yang dipimpin Ali Kalora selama ini bergerak di sekitar
lereng Pegunungan Biru.
Mereka
kerap berpindah satu sama lain dari lereng pegunungan sisi utara ke selatan.
Di
lereng Pegunungan Biru ini terdapat Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong,
dan Kabupaten Poso.
Dengan
kondisi ini, pergerakan dan perpindahan mereka meliputi kawasan yang cukup
luas.
"Jadi
mereka mobile di kawasan yang begitu
luas. Satuan tugas hari ini terus mobile
untuk menyasar ke berbagai sektor di kawasan lereng itu," kata Boy Rafli.
Ia
mengakui, lokasi pelarian MIT merupakan medan yang cukup menyulitkan.
"Sekali
lagi, ini medan yang tidak ringan karena ini medan pegunungan dan mereka sudah
bertahun-tahun di kawasan itu," kata Boy Rafli.
Menurut Boy, mereka sengaja
membunuh satu keluarga di Sigi karena tak ingin tinggalkan jejak.
"Mereka
tidak ingin meninggalkan jejak dari tindakan yang dilakukan. Jadi mereka tidak
ingin jejaknya diketahui dengan cara menghabiskan obyek yang mereka
sasar," jelasnya.
Selain
itu, ia mengatakan, faktor kekurangan logistik menjadi alasan
kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora membunuh satu keluarga di Kabupaten
Sigi.
"Saat
ini mereka sudah dalam kondisi yang tidak memiliki logsitik yang cukup,"
ujar Boy Rafli Amar.
"Artinya, dengan
cara inilah, dengan cara merampok, dengan cara membunuh masyarakat, karena kita
tahu bahwa kelompok ini adalah pengusung ideologi kekerasan. Jadi itulah salah
satu untuk bertahan hidup," sambungnya.
Mereka
juga mengincar harta benda milik warga di sekitar lereng Pegunungan Biru untuk
menutupi logistik yang kian menipis.
Salah
satu pemukiman warga yang pernah menjadi sasaran perampasan adalah Dusun Taman
Jeka, sebuah wilayah yang terletak di Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir,
Kabupaten Poso.
Boy
meyakini, MIT semakin tersudut karena masyarakat Kabupaten Poso dan
sekitarnya sudah tidak lagi memberikan simpati dan dukungan terhadap eksistesi
mereka.
"Jadi
hari ini cara bertahan mereka untuk hidup di lereng-lereng Pegunungan Biru
antara lain dengan mencari logistik, dengan merampok mengambil harta benda
masyarakat," terang Boy Rafli.
"Jadi
inilah yang terjadi sekaligus kita memang menunjukan mereka masih eksis dan
inilah yang menjadi tantangan kita untuk melumpuhkan mereka dalam beberapa
waktu ke depan," imbuh Boy Rafli.
Setia pada
ISIS
Pengamat teroris, Ridlwan Habib, menyarankan pemerintah
beserta aparat keamanan agar menggunakan strategi baru untuk menangkap Ali
Kalora.
Berdasarkan
pengamatannya, Operasi Tinombala telah berjalan hampir lima tahun tetapi belum
berhasil menangkap pimpinan Mujahidin Indonesia Timur tersebut. Padahal
berbagai cara sudah dilakukan.
"Pernah
coba pakai thermal drone untuk
memotret suhu panas tubuh. Ternyata ada kekeliruan. Karena suhu tubuh manusia
mirip dengan mamalia seperti kera atau monyet, sehingga ketika mau menyerang
dan didekati ternyata segerombolan monyet besar," ujar Ridlwan Habib
kepada wartawan, Minggu (29/11/2020).
"Pernah
dicoba pakai drone detector untuk
mendeteksi gerak. Ternyata salah deteksi lagi," sambungnya.
Ridlwan
berkata, Ali Kalora dan anggotanya yang diperkirakan berjumlah 11 orang
diuntungkan secara geografis lantaran lokasi pergerakan mereka di pedalaman
hutan yang sulit dijangkau orang.
Selain
itu, kelompok tersebut juga tidak menggunakan telepon genggam untuk saling
berkomunikasi sehingga sulit dilacak.
Sejauh
pengamatannya, tindakan merampok bahan pangan dan membunuh warga setempat sudah
dua kali dilakukan sepanjang tahun ini.
Pada
April lalu, seorang petani menjadi korban. Aksi itu direkam oleh kelompok Ali
Kalora dan disebarkan ke kelompok jihadis di Indonesia dan luar negeri.
Tujuannya
untuk memberitahu kelompok teror di luar negeri tentang keberadaan mereka,
"dengan harapan akan mendapat bantuan logistik".
"Dan
sebagai bukti mereka tetap setia kepada ISIS (kelompok yang menamakan diri
Negara Islam)," kata Ridlwan.
Karena
itu, bagi Ridlwan, tidak ada jalan lain selain
menyiapkan pasukan khusus.
"Ini
bukan kelompok yang bisa digalang dengan lunak. Mereka ini prinsipnya membunuh
atau terbunuh. Dialog juga tidak bisa," pungkasnya. [qnt]