WahanaNews.co, Jakarta – Wakil Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Budiman Sudjatmiko mengatakan program makan siang dan susu gratis mengacu pada komposisi makanan 4 sehat 5 sempurna.
Pengusaha industri susu mewanti-wanti jerat impor dalam program makan siang dan susu gratis yang akan dibagikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka kepada 82,9 juta anak.
Baca Juga:
Polda Banten Uji Coba Makan Siang Bergizi Gratis untuk 850 Siswa SD
Dibutuhkan setidaknya 6,7 juta ton beras per tahun, 1,2 juta ton daging ayam per tahun, 500 ribu ton daging sapi per tahun, 1 juta ton daging ikan per tahun, berbagai kebutuhan sayur mayur dan buah‐buahan, hingga 4 juta kiloliter susu sapi segar per tahun.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana enggan mengomentari lebih rinci apakah perhitungan TKN itu tepat.
Ia berpendapat ahli gizi yang lebih pantas menjawab seberapa banyak kebutuhan pasti untuk daging ayam, sapi, hingga susu segar tersebut.
Baca Juga:
Sekjen PBB Nilai Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Investasi Penting
"Saat ini, impor daging sapi atau kerbau per tahun sudah di atas 250 ribu ton. Jadi, dipastikan program makan gratis akan meningkatkan impor daging," ucap Teguh melansir CNN Indonesia, Rabu (21/2/2024).
"Untuk susu juga demikian. Penerima manfaat mungkin sebagian adalah bukan konsumen susu karena kondisi ekonomi. Jadi, realisasi program minum susu gratis akan meningkatkan konsumsi susu secara nasional. Saat ini 80 persen kebutuhan susu harus diimpor," sambungnya.
Ia menegaskan janji Prabowo ini akan meningkatkan konsumsi bahan-bahan pokok yang dibutuhkan. Oleh karena itu, Teguh menyebut perlu ada upaya radikal dari pemerintah jika mau kebutuhan tersebut terpenuhi dari dalam negeri.
TKN mengatakan ada sekitar 10 ribu desa yang akan dilibatkan untuk memproduksi padi demi memenuhi kebutuhan program ini.
Lalu, 20 ribu desa diupayakan untuk membangun peternakan ayam pedaging dan petelur hingga penggemukan sapi beserta usaha sapi perah.
Sementara itu, 2 ribu desa nelayan diklaim bisa diandalkan untuk penyediaan ikan segar. Sedangkan ribuan desa lainnya akan dilibatkan dalam pemenuhan kebutuhan sayur mayur, buah‐buahan, hingga bumbu masak.
"Untuk menggenjot produksi daging dan telur ayam relatif lebih mudah, tapi menggenjot produksi susu dan daging sapi lebih berat. Dua puluh tahun program swasembada daging sapi gagal," wanti-wanti Teguh.
"Untuk peningkatan produksi susu, selain perbaikan sapi, populasi sapi perah kita (saat ini) sangat rendah. Perlu impor sapi perah dalam jumlah besar untuk meningkatkan produksi susu segar. Produksi susu segar yang ada saat ini masih rendah dan kurang untuk memenuhi industri pengolahan susu," tandasnya.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian sependapat dengan ucapan Teguh. Ia mengatakan 80 persen kebutuhan susu Indonesia masih harus didatangkan dari luar negeri.
Oleh karena itu, Eliza menilai program makan siang dan susu gratis tidak akan serentak dilakukan di Indonesia. Ia berpendapat Prabowo-Gibran akan melakukannya secara bertahap, termasuk menetapkan beberapa daerah pilot project.
"Dalam jangka pendek yang dapat dilakukan mau tidak mau impor susu dulu, karena sekarang saja sudah impor. Namun, ini mesti paralel dengan impor sapinya untuk dikembangbiakkan di Indonesia," saran Eliza.
"Yang menjadi pertanyaan, apakah ini akan digarap oleh perusahaan besar atau peternak susu yang bermitra dengan perusahaan, atau murni koperasi susu? Jika perusahaan besar memungkinkan untuk menjadi vendor pemerintah karena mereka memiliki capital yang memadai," imbuhnya.
Serupa, Eliza menyoroti persediaan daging ayam di Indonesia. Menurutnya, masalah yang dihadapi peternak ayam juga tak kalah rumit.
Ia menegaskan perlu ada persiapan dengan waktu cukup panjang agar peternak lokal bisa menyesuaikan lonjakan permintaan yang ada.
"Peternak ayam negeri pakannya mayoritas impor, 60 persen bahan pakan itu impor. Padahal, biaya pakan ini hampir 70 persen dari total biaya produksinya. Belum lagi bibit doc-nya juga kita impor," tutup Eliza.
Terlepas dari itu, real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sampling 73,37 persen menunjukkan keunggulan pasangan Prabowo-Gibran. Mereka mengantongi 58.629.051 suara atau 58,77 persen.
Diikuti oleh paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang mendapatkan 24.189.032 suara alias 24,25 persen. Sedangkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD harus puas menjadi yang paling buncit dengan 16.937.627 suara atau 16,98 persen.
[Redaktur: Alpredo Gultom]