WahanaNews.co | Dalam sistem kesehatan jiwa antarpuskesmas se-Indonesia, terdapat ketidaksetaraaan pemenuhan SDM yang terlatih dan kompeten.
Hal itu disampaikan oleh Kepala CPMH Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, melalui keterangan tertulis yang diunggah di laman resmi UGM, Minggu (10/10/2021).
Baca Juga:
Otak Fit, Ingatan Kuat: 7 'Workout' Mental untuk Mencegah Pikun
Menurut Diana, masih ada kesenjangan yang cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antar orang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia.
Dia menilai, aturan dan distribusi bantuan dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa pun belum merata, baik itu pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur, termasuk pemerataan RSJ.
Selain itu, di beberapa wilayah di Indonesia, akses bantuan ke puskesmas terdekat bagi masyarakat terkadang masih sulit dan mahal.
Baca Juga:
Prilly Latuconsina Angkat Isu Kesehatan Mental Lewat Film 'Bolehkah Sekali Saja Kumenangis'
Ditambah lagi minimnya SDM terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa, yang menyebabkan belum semua puskesmas di Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa.
“Secara umum ada kondisi yang tidak setara di Indonesia. Ketidaksetaraan terlihat dalam pemenuhan SDM antarpuskesmas se-Indonesia,” tegas mitra penelitian Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKSI) ini.
Dia memberi contoh, salah satu kabupaten memiliki 35 psikolog klinis yang di 25 puskesmas di daerah itu. Sementara, ada kabupaten yang memiliki 11 puskesmas tetapi hanya memiliki satu dokter umum yang pernah mendapatkan training kesehatan jiwa.
Dengan kondisi ini, lanjutnya, masih ada beberapa PR yang harus kita lakukan bersama untuk membuat kondisi Indonesia setara di semua wilayah, seperti terpenuhinya SDM kesehatan jiwa, sistem rujukan yang terjalin rapi antar potensi masyarakat dan sistem kesehatan, serta orientasi program dari promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi.
Diana juga menyampaikan, pandemi membawa masalah pendidikan, masalah kemiskinan, dan juga mengakibatkan banyak anak-anak yang kehilangan ayah-ibunya.
Untuk saat ini, mungkin dampak psikisnya belum terlihat secara signifikan, meski tekanannya sangat terasa nyata.
Namun, perubahan pola asuh karena perubahan konstelasi keluarga atau perubahan ekonomi keluarga, sangat berpotensi membawa dampak psikis jangka panjang.
“Para ahli perkembangan juga memprediksikan bahwa anak-anak dan remaja akan mengalami ‘the longest and the darkest effect of pandemic’ yang harus diantisipasi dan dikelola,” lanjutnya.
Melihat kondisi tersebut, dia berpendapat bahwa diperlukan pemetaan komprehensif tentang kondisi sistem kesehatan jiwa bangsa untuk rekomendasi prioritas pembangunan yang lebih tepat.
Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) bersama Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, dengan dukungan UNICEF, membantu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memetakan kondisi sistem kesehatan jiwa Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini, kata Diana, untuk memberikan rekomendasi prioritas pembangunan.
“Penelitian masih berjalan, bekerja sama dengan Dinkes-Dinkes Kabupaten/Kota se-Indonesia,” imbuhnya. [dhn]