WahanaNews.co | Pemerintah Republik Indonesia (RI) tengah mendorong tingkat inklusi keuangan di dalam negeri, salah satunya yaitu melalui digitalisasi. The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) meminta dorongan tersebut tetap memperhatikan keamanan konsumen atau pengguna.
Head of Consumer Finance, Insurance and Pensions Division of the OECD, Flore-Anne Messy mengatakan, dalam hal digitalisasi ini tak bisa disebut sulit atau mudah.
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
Ia menilai dari sisi akses produk keuangan, digitalisasi bisa membantu akses terhadap kredit hingga investasi, tapi di sisi lain masih banyak masyarakat yang rentan.
"Sehingga sangat penting untuk otoritas publik, Bank Indonesia, dan OJK yang ada di Indonesia untuk memastikan adanya kerangka perlindungan konsumen untuk melindungi privasi data," kata dia dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), pada Sabtu (16/7).
Setidaknya, kata dia, lembaga-lembaga tersebut bisa memastikan konsumen memiliki wadah untuk menampung keresahan yang dihadapi.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
Dalam hal ini, digitalisasi lagi-lagi bisa dimanfaatkan untuk mencakup ruang lingkup masyarakat yang lebih luas.
"Sehingga akses ke data mereka untuk memahami apa yang mungkin menjadi kesaksian mereka dan pada saat yang sama, pengawas juga dapat menggunalan platform online untuk mengawasi lembaga asuransi," kata dia.
Dia menyebutkan, digitalisasi bisa dilakukan oleh otoritas publik dengan alat baru untuk mengatur sesuai dengan kebutuhan konsumen. Dengan kemajuan itu, perlu juga dibarengi dengan penegakkan aturan yang berlaku.
Mengatasi Penipuan
Dalam hal ini, artinya berkaitan dengan penipuan berbasis online yang juga erat dengan digitalisasi. Flore-Anne Messy menegaskan OECD juga telah membentuk aturan untuk melawan penipuan seperti scam, phising dan semacamnya.
Dia turut memastikan ada kerangka hukum dengan tujuan melindungi konsumen dari hal tersebut. Sehingga otoritas publik bisa memastikan bahwa tidak ada akses ke penipuan serupa.
Cara lainnya, pembuat kebijakan perlu memberikan pemahaman kepada publik agar mengenal berbagai metode penipuan yang marak terjadi.
Termasuk membahas berbagai upaya penanganan dan mewadahi berbagai laporan terkait pelanggaran tersebut.
"Jadi ada bagian di mana regulasi terjadi. Jadi membatasi akses penyedia penipuan ke pasar. Dan ada masalah dengan konsumen yang benar-benar diketahui dan diberikan informasi yang mungkin berguna bagi mereka untuk mengidentifikasi penipuan dan penipuan dengan lebih mudah," katanya.
"Tentu saja, kita berbicara tentang penipuan umum, lembaga keuangan khususnya staf mereka, yang sebenarnya menjual produk keuangan harus dilatih untuk memastikan bahwa mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen, tapi ini untuk lembaga yang sudah berbadan hukum," tukasnya. [jat]