WahanaNews.co | Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mencium aroma korupsi di beberapa perusahaan pelat merah.
Perusahaan itu adalah PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN dan PT Krakatau Steel (Persero).
Baca Juga:
Ultimatum Keras Setelah Kekalahan Telak Timnas dari Jepang, Erick Thohir Ancam Mundur dari PSSI
“Bau-bau” korupsi terendus di balik tumpukan utang masing-masing perusahaan.
PTPN III, selaku induk holding perkebunan perusahaan pelat merah, disebut memiliki utang hingga Rp 43 triliun.
"Utang Rp 43 triliun itu adalah penyakit lama dan ini saya rasa korupsi terselubung," ungkap Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (22/9/2021) lalu.
Baca Juga:
Menteri BUMN Angkat Kembali Darmawan Prasodjo sebagai Dirut PT PLN
Sementara untuk Krakatau Steel, Erick menyebut bau korupsi tercium dari utang perusahaan yang sempat tembus US$2 miliar atau Rp 28,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.200 per dolar AS).
Utang Krakatau Steel menumpuk lantaran berinvestasi di fasilitas blast furnace.
"Krakatau Steel punya utang US$2 miliar. Salah satunya (karena) investasi US$850 juta dari proyek blast furnace yang hari ini mangkrak. Pasti ada indikasi korupsi," ucap Erick dalam Talkshow “Bangkit Bareng”, Selasa (28/9/2021).
Erick pelan-pelan membongkar lagi “penyakit lama” BUMN.
Mulai dari proyek gagal, utang, hingga dugaan korupsi.
Ia mengaku akan mengejar seluruh pihak yang merugikan perusahaan pelat merah.
Menurut Erick, seluruh proses bisnis yang salah harus diperbaiki.
Meski begitu, Erick tak merinci lebih lanjut, apakah pihaknya sudah berhasil mendapatkan bukti tindak pidana korupsi di tubuh PTPN dan Krakatau Steel, atau sebenarnya baru mulai mencari bukti.
Ia juga tak menjelaskan, apakah Kementerian BUMN sudah melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang, seperti pihak kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satu demi satu rahasia BUMN dibuka.
Namun, belum ada kepastian, apakah dugaan korupsi itu benar-benar diusut atau tidak.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan, Erick harus bertanggung jawab dengan ucapannya.
Minimal, Kementerian BUMN menggandeng Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit PTPN dan Krakatau Steel.
"Pernyataan ini penting untuk ditindaklanjuti. Masyarakat berharap ada proses hukum yang lebih konkret, baik dari Kementerian BUMN atau pemerintah selaku pemegang saham (perusahaan pelat merah)," ucap Abra kepada wartawan.
Audit juga perlu dilakukan agar masyarakat tahu pangkal masalah di masing-masing BUMN.
Pasalnya, kalau ada apa-apa di tubuh BUMN, keuangan perusahaan cekak, tidak bisa bayar utang, ujung-ujungnya minta bantuan pemerintah.
Pemerintah bantu dengan menyuntikkan dana lewat penyertaan modal negara (PMN).
Dana tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang artinya ada uang rakyat di tubuh BUMN.
"(Pak Erick) jangan hanya gimmick, terkesan seperti tegas, tapi tidak ada tindak lanjut," kata Abra.
Sementara, Abra menyebut hasil audit bisa menjadi bahan Kementerian BUMN untuk melanjutkan proses ke jalur hukum.
Dari proses tersebut, maka ada kemungkinan dana yang dikorupsi atau kerugian BUMN dikembalikan oleh pelaku.
"Itu (pengembalian) dibutuhkan untuk mengurangi beban APBN yang membantu menyehatkan BUMN itu," terang Abra.
Jika tak ada tindakan konkret dari Kementerian BUMN, Abra khawatir akan timbul stigma negatif di institusi yang disebut oleh Erick, yakni PTPN dan Krakatau Steel.
Tak hanya bagi perusahaan, tapi juga karyawan-karyawannya.
"Ada dampak reputasi ke BUMN dan manajemen, direksi, pegawai," imbuh Abra.
Ia mencontohkan, karyawan yang bekerja di PTPN dan Krakatau Steel bisa saja mendapatkan cap negatif dari publik karena pernyataan Erick terkait indikasi korupsi di perusahaan.
"Harus ada proses hukum, jangan sampai mereka (manajemen perusahaan) dibebani stigma negatif. Orang kan berspekulasi," tutur Abra.
Menurut Abra, Kementerian BUMN juga harus membuka hasil audit atau proses hukum yang sedang dilakukan ke publik.
Jangan sampai, informasi yang sampai ke telinga masyarakat tidak utuh.
"Misalnya ini masalah lampau, manajemen lama ikut terkena stigma negatif. Padahal tidak jelas di era mana, periode kapan. Direksi dirugikan kalau tidak diungkap jelas," papar Abra.
Dari segi potensi, Abra mengatakan, celah korupsi di BUMN terbuka lebar.
Misalnya, pembengkakan biaya dari proyek yang dilakukan perusahaan.
"Itu kan lucu. Harusnya awal rencana ada estimasi, risiko-risiko yang harus diantisipasi, pembengkakan biaya," kata Abra.
Oleh karena itu, perlu audit untuk meneliti setiap kasus di BUMN.
Dari audit itu akan menunjukkan apakah pembengkakan biaya atau kerugian terjadi karena tindakan korupsi atau murni situasi bisnis.
"Kalau ternyata proyek mengalami kerugian ya harus dibuktikan apakah diakibatkan praktik korupsi atau memang itu bagian dari risiko bisnis," ujar Abra.
Sementara, Peneliti BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI), Toto Pranoto, mengatakan, setiap aksi korporasi yang dilakukan di BUMN yang membutuhkan belanja modal (capital expenditure/capex) besar pasti butuh persetujuan pemegang saham.
Hal ini berarti Kementerian BUMN sebagai pemegang saham selalu tahu rencana perusahaan pelat merah.
"Artinya proses due diligence dilakukan berlapis. Di internal perusahaan dan juga persetujuan dari Kementerian BUMN," kata Toto.
Jika ada kerugian atau pembengkakan biaya dari proyek yang dilakukan BUMN, maka perlu ada investigasi yang cepat.
Lalu, bila biaya bengkak atau kerugian cukup signifikan, artinya ada masalah dalam pengelolaan proyek.
"Masalah itu bisa salah satunya terjadi karena penggelembungan nilai proyek," terang Toto.
Menurutnya, perlu ada pengawasan yang ketat untuk setiap proyek, khususnya yang memakan dana dari pos belanja modal cukup besar.
Pengawasan ini harus dilakukan oleh internal perusahaan dan Kementerian BUMN.
"Apabila Kementerian BUMN kesulitan sumber daya manusia, maka mereka bisa minta asistensi BPKP untuk memonitoring pekerjaan tersebut," jelas Toto.
Jika ditemukan dugaan korupsi dari hasil monitoring, Kementerian BUMN harus segera melaporkan ke pihak berwenang.
Hal ini untuk memperlihatkan ke manajemen perusahaan pelat merah bahwa penegakan hukum benar-benar dilakukan di lingkungan BUMN.
"Investigasi dan audit yang transparan akan membuat clear akar masalah yang terjadi," pungkas Toto.[qnt]