WahanaNews.co | Tahi Bonar Simatupang dikenal sebagai Letjen Purnawirawan asal Sumatera Utara, dan salah satu konseptor peletak dasar-dasar kemiliteran Indonesia.
Ia memperoleh gelar pahlawan nasional pada tahun 2013, dan namanya dibadikan sebagai nama jalan di Jakarta, tepatnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Baca Juga:
Ini 10 Negara dengan Militer Terkuat di Dunia pada 2024
Karier militer Simatupang diawali saat ia masuk ke Koninklije Militaire Academie (KMA) Bandung pada tahun 1940. Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Simatupang lulus sebagai perwira muda.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Simatupang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Dia mempunyai penguasaan yang mumpuni di bidang organisasi, konsep, dan manajemen ketentaraan. Saat itu tidak banyak perwira yang menguasai masalah tersebut.
Baca Juga:
Kudeta Militer Guncang Negara Bolivia, Apa yang Terjadi?
Simatupang turut bergerilya bersama Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman melawan pasukan Belanda.
Selama perang tersebut, ia pun diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WKSAP) RI pada tahun 1948 hingga 1949.
Dalam kedudukannya, Simatupang ikut mewakili TNI saat delegasi Republik Indonesia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Ketika Jenderal Sudirman wafat pada tahun 1950, Simatupang diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal hingga tahun 1953.
Jabatan KSAP secara hirarki organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, dan di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.
“Pak Sim dalam tempo enam tahun telah menjadi mayor jenderal dengan jabatan KSAP yang merupakan jabatan tertinggi dalam angkatan bersenjata RI. Mungkin karir militer seperti itu tak akan ada yang menyamai dalam sejarah Republik Indonesia,” kata Letjen Purn Sayidiman Suryohadiprojo dalam buku 70 Tahun Dr TB Simatupang, Saya Adalah Orang Yang Berhutang terbitan Pustaka Sinar Harapan.
Selama masa jabatannya, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 masa gelombang demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen.
Pada tahun 1953, Presiden Sukarno mengurangi wewenang Simatupang di AD. Sukarno juga menghapus jabatan KSAP - kini disebut Panglima TNI – kemudian tahun 1954, Simatupang diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI.
Ia pensiun muda pada 1959 dan memilih aktif dalam kegiatan gereja dan menulis buku. Melalui tulisan, ia membekali perwira-perwira di sekolah militer, dan tak pernah enggan berbagi ilmu terkait konsep maupun strategi militer.
Buku pertama yang ia tulis adalah Laporan dari Banaran. Buku ini mengisahkan tentang perannya dalam Revolusi Kemerdekaan. [dhn]