Oleh ILHAM BINTANG
Baca Juga:
Garuda Indonesia – Japan Airlines Kerja Sama Perkuat Ekspansi Jaringan Penerbangan di Asia Pasifik
ADA dua produk asli Indonesia yang paling membanggakan.
Belum ada tandingannya.
Baca Juga:
Sambut HUT ke-76, Garuda Indonesia Tebar Diskon Penerbangan ke Berbagai Tujuan Wisata
Yaitu: telur ayam kampung --yang entah sudah berusia berapa abad-- dan
Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia yang berusia 72 tahun 26 Januari lalu.
Paling tidak bagi saya sendiri.
Subjektifnya: historis membuat saya
merasa punya hubungan emosional atau hubungan batin dengan keduanya.
Saya hanya mau makan telur setengah
matang dari telur ayam kampung.
Minum madu dicampur telur, telurnya
harus dari ayam kampung.
Minum jamu campur madu dengan telur
ayam kampung.
Kuat sekali kesan yang tertanam: telur
ayam kampung berkhasiat sehat dan kuat.
Pendaratan yang Smooth
Begitu pun dengan Garuda Indonesia.
Saya hanya merasa nyaman jika
bepergian dengan pesawat Garuda.
Perjalanan domestik maupun
internasional.
Kecuali kepepet, misalnya karena
destinasi yang dituju tidak diterbangi Garuda.
Dulu saya keliling Spanyol pun dengan
penerbangan joint Garuda-KLM.
Dibandingkan dengan KLM sendiri --cikal bakal Garuda-- Garuda lebih dalam urusan kenyamanan
di dalam kabin pesawat.
Dari usia bocah juga saya mengenal
sejarah Garuda hingga merasakan riil pelayanan dan kenyamanan dalam penerbangan
Garuda yang kelas dunia.
Saya terbang pertama kali naik Garuda
pada usia 12 tahun, ketika Garuda baru punya pesawat Convair dan Electra.
Salah satu kelebihan Garuda yang diakui
dunia yaitu "kemewahan" dalam pendaratannya.
Saat roda-roda belakang pesawat
menyentuh pertama kali landasan, kehalusannya membekas di relung hati.
Serasa kita mendaratkan tubuh di
kasur.
Silakan saja cari pembanding dengan
maskapai paling maju pun di dunia.
Turbulensi
Hingga kini, zaman now, era milenial, tidak luntur
kepercayaan pada telur ayam kampung.
Seperti itu juga dengan Garuda
Indonesia.
Kita tetap memilih terbang dengan
pesawat itu meski manajemennya gonjang-ganjing.
Berbeda dengan telur ayam kampung yang
stabil, manajemen Garuda sering hadapi turbulensi.
Sering hadapi sorotan publik.
Saya ingat saat perubahan logonya
menjadi seperti sekarang, berhari-hari menjadi polemik di tengah masyarakat.
Karikatur Harian Kompas menggambarkan logonya mirip ayam.
Terbanglah bersama ayam, sindirnya.
Mungkin karena kedekatan, merasa ada
ikatan batin, maka publik punya perasaan memiliki Garuda.
Itu yang menyebabkan riak sekecil
apapun akan jadi sorotan masyarakat.
Kelebihan lain Garuda yang tidak boleh
diabaikan adalah Brand-nya.
Brand-nya menjadi intangible asset.
Aset tak berwujud (aset non-moneter) tapi teridentifikasi.
Tanpa wujud fisik tetapi membawa
manfaat ekonomi masa depan ke perusahaan.
Sebuah manfaat di mana hak-hak
istimewa, atau posisi yang menguntungkan itu untuk menghasilkan pendapatan.
Sudah berselang lima tahun Garuda
alami problem multidimensional.
Problem terbesar dalam sejarah
maskapai itu.
Sudah sampai mengancam
"jiwanya".
Pemerintah berdosa besar jika
membiarkan Garuda lenyap terkubur oleh masalahnya.
Kerugian Garuda sebesar apapun, hemat
kita belum seberapa jika dibandingkan dengan banyak kasus di industri lain yang
toh pernah ditolong pemerintah.
Tidak seberapa beban utangnya
dibandingkan dengan kasus BLBI dulu yang dengan senang hati ditalangi
pemerintah.
Kita berharap Pemerintah sebagai
pemegang saham terbesar tidak tinggal diam.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) akan
digelar PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 13 Agustus 2021, mudah-mudahan RUPS itu
menjadi pamungkas penyelesaian masalah Garuda.
Salah satu agendanya adalah perombakan
Direksi dan Komisaris.
Kita apresiasi langkah ini.
Kata orang bijak, "daripada terus menerus mengutuki kegelapan lebih baik mulai
nyalakan lilin".
Silakan saja angkat direksi baru.
Kabar selentingan, direktur keuangan
sekarang, Prasetio, kandidat kuat untuk Jabatan Dirut Garuda.
Silakan saja merampingkan badan
komisaris, menjadi tinggal dua pun tak apa-apa.
Persis seperti yang pernah diutarakan
Menteri BUMN Erick Thohir.
Menurut kabar, calon
kuat untuk komisaris ini adalah Chairul Tanjung dan Elisa Lumbantoruan.
Bawa Garuda Mengangkasa
Jangan gaduh lagi.
Ayo segera terbangkan Garuda
mengarungi angkasa luas.
Seperti telur dan ayam kampung.
Yang brand-nya kuat berabad-abad.
Heh! Jangan main-main dengan ayam
kampung.
Sebuah riset dari North Carolina
University menunjukkan telur ayam kampung mengandung lemak tidak jenuh (monounsaturated fats dan polyunsaturated
fats) yang lebih banyak ketimbang telur ayam negeri.
Dikutip dari "Hello Sehat",
telur ayam kampung mengandung 150 kalori, 13 gram protein, 1,5 gram
karbohidrat, dan 10 gram lemak.
Dengan begitu, telur ayam kampung
mengandung sedikit lebih banyak protein dan karbohidrat jika dibandingkan
dengan telur ayam negeri.
Selain mengandung lebih banyak protein
dan karbohidrat, telur ayam kampung juga mengandung vitamin E dan lemak yang
lebih banyak dibandingkan telur ayam negeri.
Kandungan tersebut diketahui sangat
baik untuk meningkatkan kesehatan jantung dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Telur ayam kampung dihasilkan dari
ayam yang berkembang biak dan tumbuh secara liar.
Dilepas saja untuk mencari makan
sendiri dengan mengonsumsi makanan yang ada di sekitar mereka, seperti bijian,
serangga, dan ulat.
Sedangkan telur ayam negeri dihasilkan
dari "fabrikasi" ayam hasil perkembangbiakan dan diberi pakan yang
mengandung vitamin dan nutrisi lain yang bisa dikatakan semacam
"doping".
Ayam negeri merupakan ras ayam hasil
persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi.
Umumnya ayam negeri dibudidayakan
memang untuk tujuan komersil.
Convair dan Electra
Sebagai penutup, izinkan saya
lanjutkan sedikit lagi nostalgia dengan Garuda Indonesia.
Saya sudah menikmati semua kelas di
kabin pesawat Garuda.
Mulai kelas ekonomi bayar separuh,
kelas bisnis, hingga first class yang
bisa tidur dalam dalam satu kamar.
Ekonomi bayar separuh?
Iya, waktu itu penentuan harga tiket
untuk anak-anak tidak seperti sekarang.
Cukup dengan anak mengenakan celana
pendek, hehehe, maka tiket dikenakan 50%.
Begitu sampai di bandara cepat ganti
celana panjang di kamar mandi.
Saya pertama kali ke Amerika Serikat
juga dengan Garuda di tahun 1991.
Yang rutenya:
Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles.
Perjalanan sekitar 20 jam, tapi
merasakan sensasi dua kali matahari terbit dan dua kali matahari terbenam.
Ke Eropa pertama kali juga naik
Garuda.
Penerbangan langsung 12 jam dengan
pesawat berbadan lebar.
Berkali-kali ke Tanah Suci seluruhnya
dengan Garuda.
Bahkan, hingga sekarang Garuda masih
berutang dua tiket bisnis return
Jakarta-Jeddah/Madinah kepada kami.
Ihwal itu, 27 Februari tahun lalu.
Pas di hari keberangkatan ke Tanah
Suci tiba-tiba Pemerintah Saudi membatalkan visa seluruh jemaah umrah.
Apalagi penyebabnya kalau bukan
pandemi Covid-19.
Karena hubungan batin dengan Garuda,
saya menunggu saja sampai kapan pun refund
dua tiket return kelas bisnis
Jakarta-Jeddah/Madinah mau dibayarkan.
Mau cash atau voucher
penerbangan senilai itu, terserah. (Ilham Bintang,
Jurnalis
Senior)-qnt