WahanaNews.co | Permasalahan keamanan di Papua tidak kunjung reda, kontak senjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua di Distrik Gome, Kabupaten Puncak kembali menimbulkan korban jiwa. Total, sebanyak tiga personel TNI tewas dalam kontak senjata itu hingga Kamis (27/1).
Peristiwa yang melibatkan KKB Papua dengan aparat TNI atau Polri belum menemukan titik temu, meskipun Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengembalikan operasi penanganan keamanan di Papua dan Papua Barat sama seperti yang diterapkan di provinsi lain.
Baca Juga:
Jaringan Damai Papua (JDP) Berbelasungkawa atas Penembakan 10 Warga Sipil Tewas di Papua
"Secara umum ada beberapa perubahan yang kami lakukan untuk menghadapi dinamika permasalahan di sana secara jangka panjang, yaitu dengan mengembalikan tugas-tugas atau operasi yang ada di Papua dan Papua Barat jadi bagian tugas satuan organik seperti di provinsi dan pulau lain," kata Andika dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (24/1).
Andika mengatakan bakal menambah delapan titik baru di Papua dan Papua Baru, yakni Satgas Kodim Paniai, Kodim Intan Jaya, Kodim Puncak, Kodim Lani Jaya, Kodim Yalimo, Kodim Pegunungan Bintang, dan Kodim Nduga.
"Di Papua itu secara umum ada delapan tambahan titik yang memang menurut kami saat ini kalau dilihat dari kebutuhan masih kurang banyak, tapi delapan yang penting saat ini karena kemampuan kami," ujarnya.
Baca Juga:
Dua Prajurit Yonif R 408/SBH Tertembak KKB Papua
Merespons bentrok yang terakhir kemarin, Andika langsung terbang ke Bumi Cenderawasih. Kapuspen TNI Mayjen Prantara Santosa menyebut Andika melakukan evaluasi internal kala mengunjungi Papua.
Realisasikan Dialog
Analis Politik Internasional dan Resolusi Konflik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elisabeth mengatakan pemerintah harus segera merealisasikan dialog untuk mengakhiri konflik yang terjadi di Papua.
Menurutnya, pola pendekatan pembangunan dan keamanan yang digunakan pemerintah terhadap Papua selama ini telah terbukti berhasil.
"Ada pendekatan pembangunan, ada keamanan negara, ternyata tidak cukup, buktinya konfliknya masih berlangsung sampai sekarang," kata Adriana, Jumat (28/1).
Ia pun mengingatkan Inpres Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah mencantumkan bahwa pemerintah harus melakukan pendekatan dialog dan membangun paradigma baru dengan cara kerja baru.
Dialog, kata Adriana, harus mulai dirancang karena tidak bisa dilakukan secara instan untuk mengakhiri konflik di Papua.
"Kalau tidak dirancang dan segera dimulai kita tidak akan tahu hasilnya. Dua pendekatan paling dominan selama ini pembangunan dan keamanan negara, diterapkan di daerah konflik sudah pasti ada pro kontra. Pemerintah maksudnya baik, Papua curiga. Papua terbuka, pemerintahnya curiga," ujarnya.
Adriana menyarankan pemerintah melanjutkan kerja tim yang pernah dibentuk untuk membuka dialog dengan masyarakat Papua pada 2017 silam. Kala itu, tim tersebut beranggotakan Menko Polhukam Wiranto, Kepala Staf Presiden Teten Masduki, serta Ketua Jaringan Damai Papua (JDP) Pater Neles Tebay.
Menurutnya, semua pihak terkait harus dilibatkan dalam dialog tersebut, termasuk kelompok garis keras.
"Kalau dialog, semua elemen harus diajak dialog TNI, Polri, sampai kelompok garis keras di sana. Dialog tidak bisa hanya pada kelompok yang pro NKRI. Langkah serius untuk menyiapkan dialog belum ada," katanya.
Senada, pengamat keamanan Beni Sukadis menyatakan insiden baku tembak yang terjadi di Distrik Gome saat ini semakin memperlihatkan bahwa pola pendekatan keamanan tidak berjalan efektif di Papua.
Namun, menurutnya, Andika juga tidak bisa serta-merta mengubah pola pendekatan yang dilakukan terhadap Papua karena keputusan mengubah pola itu berada di tangan Jokowi.
"Andika tidak bisa ubah pendekatan di Papua, tidak mungkin TNI ambil itu. Keputusan politik karena dia alat negara untuk meredam kekerasan dan mengejar musuh negara. TNI melakukan instruksi atau keputusan politik pemerintah," katanya.
Atas dasar itu, ia meminta pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait pola pendekatan keamanan yang telah diterapkan selama ini.
Setelah melakukan evaluasi, menurut Beni, pemerintah harus lebih mengutamakan pendekatan politik dengan melakukan dialog terhadap berbagai kelompok signifikan di Papua. Beni berkata, langkah pendekatan politik belum pernah dilakukan terhadap Papua selama ini.
"Yang penting ada pendekatan politik, apakah pemerintah pusat sudah bersedia melakukan dialog dengan kelompok signifikan yang punya cita-cita melepaskan diri dari Papua, bukan harus kelompok senjata tapi kelompok politiknya," ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pemerintah tidak perlu takut dalam menggunakan pendekatan politik. Menurutnya, pendekatan politik tidak serta-merta langsung penandatangan perdamaian atau penyelenggaraan referendum.
Beni berkata, Indonesia punya catatan positif ketika berhasil berdamai dengan kelompok separatis Aceh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 silam.
"Aceh 2005 ketika kita damai dengan GAM tidak ada referendum, kenapa kita takut melakukan dialog terutama dengan kelompok politik. Coba dijajaki, tampaknya ini belum jalan," katanya. [bay]