WahanaNews.co | Menteri BUMN, Erick Thohir, menyatakan akan tetap mengusut dugaan korupsi di dua BUMN, yakni PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) (Persero), meski kedua perseroan tersebut telah melakukan restrukturisasi.
Erick tidak ingin nantinya dugaan praktik korupsi tersebut akan menjadi warisan buruk bagi perseroan di masa depan.
Baca Juga:
Ultimatum Keras Setelah Kekalahan Telak Timnas dari Jepang, Erick Thohir Ancam Mundur dari PSSI
“Kita kan enggak boleh merem mata juga. Kalau yang sebelum ini ada tindak pidana korupsi yang harus dipertanggungjawabkan. Jangan sampai direksi baru, komisaris baru terkena karena dibilang pembiaran,” ujar Erick di Gedung Telkomsel Smart Office, Jakarta, Kamis (30/9/2021).
Di PTPN, Erick menyoroti utang Rp 43 triliun yang menggunung sejak lama.
Ia menyebut ada korupsi terselubung di balik utang puluhan triliun rupiah itu.
Baca Juga:
Menteri BUMN Angkat Kembali Darmawan Prasodjo sebagai Dirut PT PLN
Sedangkan di Krakatau Steel, Erick menemukan indikasi korupsi dari proyek blast furnace yang sempat mangkrak selama 6 tahun dari 2012 hingga 2018.
Padahal nilai proyeknya USD 850 juta, membuat beban utang perseroan tembus USD 2 miliar atau sekitar Rp 31 triliun.
Persoalan ini kemudian diselesaikan oleh direksi baru mulai 2018.
Berikut rangkuman utang dan proyek triliunan di 2 BUMN yang terindikasi ada korupsi:
Utang Menggunung PTPN
Dikutip dari Laporan Tahunan Holding Perkebunan Nusantara 2019, total utang PTPN mencapai Rp 77,656 triliun, yang terdiri dari liabilitas jangka pendek Rp 36,37 triliun dan liabilitas jangka panjang Rp 41,28 triliun.
Berdasarkan laporan tersebut, utang PTPN tercatat naik turun dalam 5 tahun.
Pada 2015, total liabilitas sebesar Rp 66,09 triliun, kemudian turun menjadi Rp 63,9 triliun di 2016, kembali meningkat menjadi Rp 66,09 triliun pada 2017, naik lagi ke Rp 66,92 triliun di 2018, dan mencapai Rp 77,65 triliun pada 2019.
Kenaikan utang dari 2018 ke 2019 mencapai 13,82 persen.
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN III sebagai induk holding PTPN merampungkan proses restrukturisasi utang yang menggunung pada 19 April 2021.
Nilai utang yang berhasil diperpanjang mencapai Rp 41 triliun.
Sekretaris Perusahaan PTPN III, Imelda Alini, mengatakan, dengan adanya restrukturisasi ini, perusahaan mendapatkan perpanjangan waktu pelunasan (tenor) hingga 2028.
"Lima tahun ditambah tiga tahun opsi perpanjangan, hingga 2028," kata Imelda kepada wartawan.
Proyek Blast Furnace Rp 14 Triliun Krakatau Steel
Berdasarkan catatan, pabrik baja Blast Furnace milik Krakatau Steel mulai beroperasi 20 Desember 2018 setelah 6 tahun mangkrak.
Roy Edison Maningkas, yang saat itu menjabat sebagai Komisaris Independen Krakatau Steel, mengundurkan diri pada 11 Juli 2019 karena keberatan dengan pengoperasian pabrik baja Blast Furnace.
Di balik beroperasinya pabrik Blast Furnace di Cilegon, Banten, Roy menyebut ada pembengkakan nilai investasi Rp 3 triliun, yakni dari Rp 7 triliun menjadi Rp 10 triliun.
Versi Krakatau Steel, nilai investasi proyek tersebut mencapai USD 1 miliar atau setara Rp 14 triliun.
Protes Roy pun telah disampaikan ke Direksi Krakatau Steel dan Kementerian BUMN.
"Jadi ini overrun, maksudnya budget-nya dia terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini angka yang besar. Proyek terlambat 72 bulan," kata Roy saat itu.
Menurut Roy, selain proyek tersebut terlambat hingga 72 bulan, harga pokok produksi yang dihasilkan juga menjadi lebih mahal USD 82 per ton jika dibandingkan dengan harga di pasaran.
Persoalan lain muncul, Krakatau Steel menghentikan proses pengoperasian 2 bulan setelah diresmikan.
Saat ditanya ke dewan direksi, pengoperasian dilakukan agar tak menimbulkan temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebab proyek tersebut mangkrak beberapa tahun.
Roy kembali menegaskan, proyek Blast Furnace ini pasti merugi.
Kerugian juga terjadi bila proyek yang dimulai sejak 2011 itu tak dilanjutkan, sehingga posisi direksi baru yang dipimpin Silmy Karim terjepit.
"Diterusin proyeknya salah, dihentikan proyeknya salah. Gampang saja, bikin aja matriksnya. Kalau diteruskan ya rugi Rp 1,2 triliun per tahun," tambahnya.
Terkait indikasi korupsi yang disebut Erick, Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, menjelaskan, utang perseroan Rp 31 triliun meningkat dari periode 2011 hingga 2018. Akumulasi utang itu disebabkan beberapa hal, salah satunya pengeluaran investasi yang belum menghasilkan sesuai dengan rencana, salah satunya proyek blast furnace.
Menurut dia, manajemen baru Krakatau Steel berhasil melakukan restrukturisasi utang pada Januari 2020, sehingga beban cicilan dan bunga menjadi lebih ringan untuk memperbaiki kinerja keuangan.
“Proyek blast furnace diinisiasi pada 2008 dan memasuki masa konstruksi pada 2012, jauh sebelum saya bergabung di Krakatau Steel pada akhir 2018. Manajemen saat ini sudah mendapatkan solusi agar fasilitas atau pabrik yang tadinya mangkrak bisa jadi produktif,” kata Silmy. [qnt]