WahanaNews.co | Sebagian besar pengukuran indeks di negeri ini menempatkan DKI Jakarta, sebagai ibukota negara, dalam posisi teratas.
Namun, Indeks Kemerdekaan Pers justru menempatkannya pada papan bawah.
Baca Juga:
Ketum PWI Pusat Hendry Ch Bangun: Pers Harus Berwawasan Kebangsaan dan Menjaga Integritas di Era Post-Truth
Sebagai pusat pemerintahan negara, wajar jika berbagai keistimewaan ekonomi, politik, dan sosial yang sejak lama menopang DKI Jakarta kerap menempatkan wilayah ini dalam posisi teratas dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.
Dalam indeks kesejahteraan, misalnya, DKI Jakarta terkonfirmasikan pada urutan teratas.
Dengan mengambil acuan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sebagai salah salah satu indikator kualitas kesejahteraan, skor pengukuran terakhir (2020) sebesar 80,77.
Baca Juga:
Bahaya Doxing: Ancaman terhadap Keselamatan Jurnalis dan Kualitas Informasi Publik
Sejak metoda baru pengukuran dilakukan (2010) hingga kini, DKI Jakarta tetap paling atas.
Pada semua dimensi pengukuran, baik kondisi kesehatan, pendidikan, maupun pengeluaran, selama satu dasa warsa terakhir, tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Bahkan, posisinya itu membangun jarak senjang sedemikian lebar.
Sulit terkejar dalam hitungan puluhan tahun bagi provinsi lain.
Paralel dengan kesejahteraan, kondisi demokrasi di DKI Jakarta pun relatif paling baik.
Setidaknya, hasil pengukuran Indeks Demokrasi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan skor 89,21.
Skor tersebut cukup jauh di atas skor rata-rata nasional (73,66).
Peningkatan skor yang konsisten sejak 2017 menunjukkan DKI Jakarta semakin demokratis.
Menariknya, semua capaian gemilang DKI Jakarta tidak terjadi pada kondisi kemerdekaan pers.
Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang baru saja dipublikasikan Dewan Pers, menunjukkan jika skor DKI Jakarta tahun ini sebesar 75,38.
Dalam urutan, masuk pada kategori papan bawah, di posisi ke-28.
Begitu pula sepanjang tiga tahun terakhir, tidak terdapat perubahan drastis.
Posisi teratas kali ini diduduki Provinsi Kepulauan Riau.
Skor capaian tahun ini sebesar 83,30.
Menyusul selanjutnya Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pada posisi lima besar terbawah, Provinsi Maluku Utara terendah, dengan skor 68,32.
Setelahnya, Papua, Papua Barat, Gorontalo, dan Banten.
Tidak jauh dari kelima provinsi terbawah itulah, DKI Jakarta bertengger.
Berbagai elaborasi terhadap berbagai tiga dimensi serta indikator penilaian, menunjukkan kondisi kemerdekaan pers DKI Jakarta yang relatif kurang dibandingkan dengan wilayah lain.
Pada dimensi Fisik dan Politik, yang di antaranya meliputi indikator seperti kebebasan berserikat, bebas dari intervensi penguasa, ancaman kekerasan, ketersediaan akses bagi kelompok rentan, tergolong cukup memprihatinkan.
Sekalipun masuk kategori "cukup bebas", namun posisi DKI Jakarta di antara provinsi lain kurang kompetitif.
Dengan skor 75,27, provinsi ini masuk empat terbawah.
Dibandingkan dengan dimensi fisik dan politik, pada dimensi ekonomi dan hukum, agak lebih baik.
Pada dimensi ekonomi, misalnya, skor DKI Jakarta mencapai 73,82.
Dimensi ekonomi yang terdiri dari beragam indikator, seperti keragaman kepemilikan media, independensi secara ekonomi, dan tata kelola perusahaan media, menempatkan DKI Jakarta pada posisi ke-27 dari 34 provinsi.
Dari sisi dimensi hukum, kualitas capaian DKI Jakarta relatif lebih baik lagi.
Dimensi hukum, yang di antaranya meliputi indikator kualitas kepastian hukum lembaga peradilan, hukum dalam praktik jurnalisme, etika pers, dan jaminan hukum bagi kalangan disabilitas itu, menempatkan DKI Jakarta pada ranking ke-17.
Skor capaian DKI Jakarta 76,87.
Semua kondisi yang menempatkan capaian DKI Jakarta, sebagai pusat kekuasaan negara, dalam posisi kurang gemilang ini semakin tervalidasi jika dikorelasikan antar dimensi pengukurannya.
Dalam hal ini, kondisi-kondisi yang terukur dalam indikator-indikator politik satu sama lainnya berkaitan erat dengan indikator ekonomi serta hukum.
Dalam IKP, semakin tinggi capaian dimensi politik kemerdekaan pers yang diraih setiap daerah maka semakin tinggi pula kecenderungan capaian kemerdekaan dalam dimensi ekonomi ataupun hukumnya.
Begitu pula sebaliknya, semakin rendah capaian berbagai indikator dalam dimensi ekonomi atau hukum yang terekam, maka semakin rendah pula capaian dimensi politik kemerdekaan pers di setiap provinsi.
Dengan proposisi konklusi semacam itu, dapat dikatakan relatif rendahnya capaian dimensi politik kemerdekaan pers di DKI Jakarta berkaitan erat dengan dimensi ekonomi maupun hukum kemerdekaan pers yang terjadi.
Variabel-variabel politik, ekonomi dan hukum pada setiap provinsi saling berkelindan dalam membentuk rendahnya kualitas kemerdekaan di pusat kekuasaan negara.
Kondisi semacam ini, dalam perspektif relasi pers dan kekuasaan negara, tentu saja menarik dicermati.
Apakah di DKI Jakarta, sebagai wilayah pusat kekuasaan pemerintahan negara tampak "ketertundukkannya" dari sisi kemerdekaan politik, ekonomi, maupun hukum pers, ketimbang wilayah provinsi lainnya?
Apa yang tergambarkan menjadi semakin krusial lantaran kondisi demikian bahkan telah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya.
Seolah, hasil indeks ini kian mengukuhkan hipotesis ketertundukkan pers dalam kekuasaan negara yang dominan.
Terlebih, kondisi demikian semakin mendapat pembenaran, jika mencermati kondisi Provinsi Kepulauan Riau, yang kali ini dalam posisi sebagai wilayah dengan kemerdekaan pers tertinggi.
Pada wilayah yang secara spasial relatif jauh dari kekuasaan negara ini tampak terbangun relasi yang kuat pula antara besaran variabel dimensi politik, ekonomi, serta hukum di wilayah tersebut, yang sekaligus mengukuhkan daerah tersebut dalam pencapaian tertinggi.
Dengan capaiannya ini, dapat dikesankan jika pers di wilayah ini relatif terhindarkan dari bentuk-bentuk pemasungan yang muncul dari dominasi kekuasaan negara, baik pemerintahan pusat maupun daerah.
Bagi wilayah-wilayah yang tergolong papan atas lainnya, kecuali Jawa Barat, semua tergolong jauh dari pusat kekuasaan negara ataupun pemerintah pusat.
Berbagai provinsi di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi, misalnya, mampu menduduki papan atas indeks.
Hanya tercatat beberapa provinsi, seperti Sumatera Utara dan Aceh, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo, yang tergolong problematik kemerdekaan persnya.
Namun, tatkala mencermati berbagai provinsi lain yang masuk dalam posisi bawah, tidak serta-merta persoalan tinggi rendahnya kemerdekaan pers berelasi kuat dengan kekuasaan negara.
Mencermati apa yang terjadi pada Provinsi Papua Barat, Papua, dan Maluku Utara, misalnya, wilayah ujung timur negeri tersebut menjadi yang terkecil kualitas kemerdekaan persnya.
Hanya saja, sangat berbeda dengan DKI Jakarta, pada wilayah-wilayah papan bawah indeks pers ini tergolong konsisten dengan capaian mereka yang juga rendah di berbagai pengukuran indeks lainnya. [qnt]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Kemerdekaan Pers Tertinggi Bukan di Ibukota Negara". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/riset/2021/09/06/kemerdekaan-pers-tertinggi-bukan-di-ibukota-negara/.