WahanaNews.co, Jakarta - Tim percepatan reformasi hukum bentukan Menko Polhukam Mahfud MD mengusulkan agar perusahaan bandel terkait kasus agraria agar diumumkan ke publik.
Usulan ini adalah satu dari sederet poin yang dirumuskan oleh Kelompok Kerja Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam dalam tim tersebut.
Baca Juga:
Operasi Zebra 2023 Sudah Berakhir, Ini Pelanggaran yang Paling Sering Terjadi
Dalam dokumen rekomendasi tim yang telah disampaikan ke Presiden Joko Widodo, publikasi perusahaan bandel diperlukan apabila tidak menjalankan kewajiban sesuai PP 24/2021.
Dalam PP itu diatur tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Perusahaan yang terkait di sektor itu adalah perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Baca Juga:
Perusahaan Tambang dan Sawit Bandel Bakal di Publis, Ini Penjelasannya
"Dipublikasikannya daftar pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajiban sesuai PP 24/2021 di media massa dan situs KLHK serta K/L terkait," demikian laporan tersebut.
Selain publikasi, tim juga mengusulkan pemberian sanksi pencabutan izin berusaha dan pengenaan denda administratif yang dijatuhkan.
Usulan itu memiliki waktu pelaporan pada Maret, Juni dan September 2024 di bawah pengawasan sejumlah kementerian termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, dan Kementerian ESDM.
Konflik agraria menjadi salah satu masalah yang banyak terjadi di RI.
Hingga saat ini masih terdapat 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan, di mana 71 persen masyarakat menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan tersebut.
Kemudian, ada sekitar 10,2 juta orang miskin di dalam kawasan hutan tanpa aspek legal.
Kondisi ini kerap mengakibatkan konflik penguasaan dan pemanfaatan lahan, baik antara masyarakat dengan BUMN yang bergerak di bidang perkebunan (PTPN), konflik penguasaan tanah masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, konflik terkait penguasaan tanah/wilayah MHA/MA, serta konflik terkait tanah-tanah yang sudah diberikan kepada para transmigran.
Saat ini konflik agraria yang cukup besar tengah berkecamuk di Rempang, Batam.
Konflik ini terjadi karena lahan tinggal yang jadi pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, diklaim tidak memiliki sertifikat kepemilikan.
Lahan tersebut akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare merupakan kawasan hutan.
Sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada perusahaan terkait.
[Redaktur: Sandy]