WahanaNews.co | Vaksin Nusantara menjadi polemik setelah dukungan para tokoh
terbelah atas vaksin yang dibesut mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, tersebut.
Klaim Vaksin Nusantara merupakan karya anak bangsa pun dipertanyakan.
Baca Juga:
Viral Remaja Bisa Berjalan Usai Vaksin Nusantara, Pakar IDI Buka Suara
Sementara itu, para
epidemiolog berpendapat, biaya proses Vaksin Nusantara masih tinggi, menyebabkan tak semua orang bisa mendapatkannya.
Alasannya, Vaksin Nusantara menggunakan metoda sel
dendritik, pengembangan dari teknik terapi kanker.
"Bahkan, untuk satu orang bisa
mencapai puluhan hingga ratusan juta," kata epidemiolog
Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, saat dihubungi wartawan, Senin (19/4/2021).
Baca Juga:
RSPAD: Tim Peneliti Cek Soal Kabar Penerima Vaksin Nusantara Bisa Berjalan Kembali
Selain itu, menurut dia, proses yang
dijalani tergolong lebih rumit dibandingkan dengan vaksin lainnya, seperti Sinovac dan AstraZeneca.
"Ada ruang khusus, steril, enggak
bisa di ruangan biasa," ujar Windhu.
Windhu juga menyebut mustahil vaksin
Nusantara bisa mengejar target herd
immunity atau kekebalan kelompok di tengah pandemi virus Corona (Covid-19).
Dia mengatakan, sejak awal, Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang khusus
untuk individual.
Windhu menduga, ada motif
bisnis dalam pengembangan Vaksin Nusantara
ini.
Melalui proses yang rumit dan biaya
yang tinggi itu, kata dia, tidak semua orang dapat mengakses vaksin tersebut.
"Pemerintah bangkrut misalnya, dan
Vaksin Nusantara ini jadi vaksin program.
Pemerintah enggak akan sanggup biayai itu," tegasnya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menyatakan bahwa Vaksin Nusantara ini tidak efisien untuk
sebuah program vaksinasi.
Selain prosesnya tak sederhana, vaksin
ini juga membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang lebih baik
dibanding program vaksinasi lainnya.
Dicky juga menduga pengembangan vaksin
ini sebagai lahan bisnis.
Sebab, kata dia, pemerintah akan repot
jika menggunakan Vaksin Nusantara
untuk program vaksinasi.
Ia menerangkan bahwa Vaksin Nusantara tidak visible untuk kesehatan masyarakat. Namun, untuk program vaksinasi
mandiri, hal ini masih masuk akal.
"Kalau untuk rumah sakit bisa,
tapi akan memerlukan orang yang memang (butuh), kalau ditanggung negara,
ditanggung BPJS atau bayar sendiri (tidak mungkin)," jelas Dicky.
"Jadi, menurut
saya, pada saat ini kalau bicara dikatakan sama, ya berapa orang, dengan
subsidi dari mana. Dan ini dalam masa riset, saya belum melihat ada
hitung-hitungannya. Makanya negara maju tidak memilih ini, karena enggak cost effective," tambahnya.
Peneliti utama Vaksin Nusantara dari RSPAD Gatot Subroto,
Jonny, menjamin harga vaksin yang dibesut pihaknya dan Terawan sebanding
dan bersaing dengan sejumlah merek vaksin Covid-19 lain yang beredar di
Indonesia.
Jonny menerangkan, pihaknya hanya
mengambil sebanyak 40 mililiter dalam setiap sampel darah yang diambil.
Jumlah itu, katanya, jauh lebih
sedikit jika dibandingkan sampel darah yang diambil untuk pengembangan sel
dendritik untuk kanker.
"Nah itu mungkin yang mahal
karena untuk pengobatan sel kanker dan tidak bisa sekali. Yang sampai ratusan
juta. Ya, itu untuk kanker. Kok
disamain sama kita. Wong yang ini
cuma sekali dengan pengambilan darah 40 mililiter," ujar Jonny.
Pengembangan Vaksin
Nusantara saat ini mandek setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum
mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II
Vaksin Nusantara karena tak memenuhi sejumlah syarat, di antaranya syarat cara
pembuatan obat yang baik (CPOB).
BPOM juga merilis beberapa temuan
mereka, yaitu komponen yang digunakan dalam penelitian Vaksin Nusantara
tidak sesuai pharmaceutical grade,
kebanyakan impor, hingga antigen virus yang digunakan bukan berasal dari virus Corona di Indonesia. [qnt]