WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena dana daerah yang mengendap triliunan rupiah di bank telah menjadi isu klasik dalam tata kelola keuangan publik di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya inefisiensi birokrasi, lemahnya perencanaan, serta ketakutan pejabat publik dalam mengambil keputusan anggaran.
Padahal, dana tersebut sejatinya adalah energi pembangunan yang seharusnya segera mengalir untuk mempercepat kesejahteraan rakyat. Persoalan ini bukan semata teknis fiskal, tetapi mencerminkan budaya birokrasi yang masih berorientasi pada aturan, bukan pada hasil.
Baca Juga:
Dana Rp14,6 Triliun Pemprov Jakarta Akan Digunakan Bayar Proyek Pembangunan Ibu Kota
Reinventing Government: Birokrasi Berjiwa Wirausaha
Osborne dan Gaebler (1992) mengajukan gagasan revolusioner tentang pemerintahan yang tidak lagi menjadi 'pengayuh perahu', tetapi berperan sebagai 'pengarah arus' (steering rather than rowing).
Mereka menekankan perlunya pemerintah yang efisien, berorientasi hasil, dan berjiwa wirausaha — bukan sekadar administrator aturan. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menuntut aparatur pemerintah untuk berani keluar dari zona nyaman prosedural dan fokus pada misi pelayanan publik serta penciptaan nilai tambah bagi masyarakat.
Baca Juga:
Sistem Transfer Baru Siap Diluncurkan, Purbaya: Pemda Tak Bisa Lagi Timbun Uang di Bank
Keterkaitan Prinsip Reinventing Government dengan Dana Mengendap
Beberapa prinsip utama Reinventing Government secara langsung berkaitan dengan persoalan dana daerah mengendap di bank, antara lain:
1. Mission-Driven Government: Pemerintah daerah seharusnya fokus pada manfaat pembangunan, bukan sekadar penyerapan anggaran.
2. Result-Oriented Government: Anggaran harus berbasis kinerja dan diukur dengan hasil nyata di lapangan.
3. Enterprising Government: Dana publik bisa dioptimalkan melalui proyek bernilai tambah, bukan hanya disimpan di bank.
4. Customer-Driven Government: Penggunaan dana diarahkan pada prioritas publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
5. Decentralized Government: Memberikan otonomi anggaran kepada OPD agar penyerapan lebih cepat dan tidak tersentral di kas daerah.
Budaya Takut dan Ketidaksiapan Sistem
Salah satu penyebab utama lambatnya serapan anggaran adalah budaya birokrasi yang takut salah — lebih memilih aman dengan menyimpan dana daripada mengambil risiko inovasi. Padahal, dalam kerangka entrepreneurial government, keberanian mengambil keputusan yang terukur justru menjadi indikator kematangan birokrasi. Selain itu, lemahnya koordinasi antar-OPD, sistem perencanaan yang kaku, dan mekanisme pengadaan yang tidak adaptif turut memperburuk situasi. Akibatnya, pemerintah daerah gagal menerjemahkan anggaran menjadi nilai pembangunan.
Transformasi ke Arah Birokrasi Wirausaha
Mengatasi persoalan ini memerlukan transformasi ke arah birokrasi wirausaha, yaitu birokrasi yang memiliki keberanian mengambil keputusan strategis, mengukur kinerja berbasis hasil dan dampak, memanfaatkan teknologi digital untuk real-time monitoring, serta memberikan insentif kinerja bagi ASN dan OPD berprestasi. Dengan demikian, setiap rupiah dari anggaran publik dapat menjadi 'modal kerja' untuk pembangunan daerah yang produktif dan berkelanjutan.
Fenomena dana daerah mengendap di bank adalah cerminan bahwa birokrasi kita masih perlu 'direinventing'. Dengan menginternalisasi prinsip-prinsip Reinventing Government, pemerintah daerah dapat mengubah paradigma dari menyimpan anggaran menjadi menggerakkan ekonomi daerah. Karena pada akhirnya, pemerintahan yang baik bukan yang menghemat anggaran, tetapi yang mengubah anggaran menjadi kesejahteraan rakyat.
[Redaktur: Robert Gultom]
Penulis: Pemerhati Manajemen Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi