Oleh FIDELIS REGI WATON
Baca Juga:
Kementerian PU: Teladani Semangat Kepahlawanan Dalam Membangun Negeri
"BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,“ tandas Bapak Pendiri Bangsa, Soekarno.
Petuah ini mendominasi protokol ritus tahunan peringatan pahlawan nasional.
Baca Juga:
Lapas Sibolga Gelar Upacara Peringatan Hari Pahlawan: Teladani Nilai-Nilai Kepahlawanan
Langgam nostalgis belum lekang seperti nyekar ke taman makam pahlawan.
Pidato sugesif dikumandangkan dan pesan moral bukan saja mengenangkan tetapi mencontohi penjasa bangsa.
Kita perlu melek dan kritis pada kebiasaan ini.
Apakah generasi muda Nusantara masih mengidentifikasikan diri dengan Panglima Polim atau Kapitan Pattimura?
Siapa yang kini tetap fanatik mengidolakan Hassanudin, Diponegoro, Soedirman?
Situs pahlawan masa lalu telah disabotase diva dan superstar dari arena olahraga, musik dan sinema.
Drama Korea menguasai industri hiburan dan aktor-aktrisnya jadi primadona dan pujaan kaum muda kita.
Makna pahlawan terinfeksi inflasi.
Selebriti dan bintang tersebut mungkin jadi contoh apa yang bisa dicapai dalam hidup, tapi mereka bukanlah pahlawan.
Gambaran populer pahlawan diparalelkan dengan kesatria medan perang (privilese militer).
Heroisme militeris lazimnya tak steril kekerasan dan brutalitas.
Kondisi korban penjajahan dan penindasan acapkali melisensi kebencian, dendam dan pembunuhan.
Warna kepahlawanan eksklusif dan tak emansipatif ini wajib dieliminasi.
Pahlawan pada hakikatnya pribadi bijak yang bertindak melampaui batas normalitas.
Beraksi heroik berarti mengatasi diri sendiri, berani dan konsekuen demi kebaikan umum.
Sang pejuang kebenaran dan keadilan dimaksud memperlihatkan yang tampaknya mustahil itu mungkin.
Di sini ditagih kecerdasan, keberanian, unggul dalam kebajikan dan kemauan mengambil risiko.
Acapkali terjadi distorsi makna ketika perilaku amoral dipahat kebajikan.
Filsuf Susan Neiman dalam karyanya Moral Clarity membahas mengapa moralitas didegradasikan sebagai wacana umpatan.
Kebajikan tak lagi berkaitan dengan apa yang dilakukan seseorang untuk dunia, tapi apa yang dilakukan dunia baginya.
John F Kennedy mencabik mental ini: jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan negaramu, tapi tanyakan apa yang sanggup kamu lakukan untuk negaramu.
Mental Korban
Menurut Neiman yang lebih diperhatikan kini soal korban, daripada pahlawan.
Begitu marak dipajangkan predikat korban ketimbang berkorban.
Predikat korban dengan gencar menggeser heroisme.
Mafia teroris menyakralkan status korban kemajuan yang sekuler dan tak adil.
Mereka lantas menjustifikasi pembunuhan dan bom bunuh diri serta digelari martir dan pahlawan.
Salah kaprah ini amat fatal karena pahlawan bukan lagi inspirasi kebaikan, tapi kejahatan.
Secara moral penerapan kekerasan dan pembunuhan dengan alasan apapun bukan perilaku heroik.
Kita butuh figur pahlawan tanpa bahasa senjata dan kekerasan.
Instrumennya keberanian dan keluhuran moral.
Kepahlawanan sering diartikan juga sebagai tindakan spektakuler, hanya sanggup dilakukan segelintir individu.
Kita terjangkit konsep superhero layar kaca seperti Spiderman yang dapat kemampuan istimewa akibat sengatan laba-laba.
Warta yang keluar dari sana bahwa jadi pahlawan itu sulit.
Kita butuh keterampilan khusus dan intervensi kekuatan eksternal.
Konsekuensinya setiap orang cuma pasif dan betah dengan kenikmatan, tak berani keluar dari zona nyaman.
Mitologi mempresentasikan rona pahlawan berurusan dengan pribadi karismatis dan titisan ilahi.
Ia dianggap makhluk berkodrat ganda (ilahi dan manusiawi).
Aspek manusiawi membuatnya terjerumus kesalahan dan penderitaan.
Kekuatan ilahi membidani aksi kepahlawanan.
Dalam perjalanan waktu aspek keilahian individu dikikis.
Muncullah kebajikan seperti kemurahan hati, kesalehan dan keberanian yang memotivasi lahirnya pahlawan.
Pahlawan jenis ini bercorak berani, setia, adil dan berbudi pekerti lewat pelatihan dan pendidikan intensif.
Era Perang Dunia dan demagogi sovinistis serta arogan memunculkan kerisihan terhadap diktum pahlawan dan politisi karismatik.
Orang tak lagi berlomba jadi pahlawan tapi memasuki zona kenyamanan dan mempropagandakan diri sebagai korban.
Mental korban wajib direduksi, agar tapak heroisme kembali dijejaki, di mana kita melakukan sesuatu bagi orang lain ketimbang menunggu belas kasihan.
Struktur sosial tengah menyuguhkan ilusi bahwa segalanya mudah diakses dan dicapai tanpa kerja keras.
Bertindak melebihi batas demi kebaikan dan kesejahteraan umum kehilangan pesona.
Orang lebih menunggu solusi dari luar ketimbang bersikap proaktif.
Figur pahlawan sejati sadar akan kesulitan hidup dengan cita-cita dan menghidupinya.
Kadang lebih rumit menghidupi idealisme ketimbang mati karenanya.
Bagi saya salah satu kategori pahlawan ulung adalah para pemikir besar yang berinovasi, mendorong berpikir sendiri untuk mencari kebenaran dan bertindak etis.
Mereka mengajarkan cara memaknai hidup.
Upaya setiap hari dan menginvestasikan kemampuan demi melayani kemanusiaan dan alam jadi tindakan kepahlawanan terpenting.
Dalam artian ini setiap pribadi berpotensi pahlawan.
Slogan from zero to hero mencabik ketakutan, menetaskan kepercayaan diri, civil courage, menegasi kompromi murahan.
Kategori pahlawan ini tak lagi fenomen langka dan sporadis.
Pahlawan bisa dilahirkan setiap saat dan satu di antara kita.
Setiap orang sanggup jadi pahlawan jika ia rela meninggalkan mainstream.
Di samping menabur bunga di pusara pejuang nasional, layaknya diapresiasi pahlawan kemanusiaan yang mempertaruhkan nyawa di garis depan aneka bidang di tengah amukan pandemi Covid-19.
Pahlawan bermunculan karena aksi humanis kapan dan di mana saja.
David Bowie melagukan: Kita sanggup jadi pahlawan hanya untuk sehari.
Tepatlah seruan Friedrich Nietzsche: jangan menghilangkan pahlawan dalam dirimu! (Fidelis Regi Waton, Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Distorsi dan Aktualisasi Figur Pahlawan”. Klik untuk baca: Distorsi dan Aktualisasi Figur Pahlawan - Kompas.id.