WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal kemungkinan pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD memicu diskusi publik yang hangat. Di satu sisi, muncul kekhawatiran akan "kemunduran demokrasi"; di sisi lain, ada suara-suara yang melihat peluang untuk memperbaiki kualitas tata kelola dan stabilitas politik daerah.
Dalam menilai wacana ini, kita perlu meletakkannya secara jernih dan proporsional. Demokrasi bukan sekadar cara memilih, tetapi tentang bagaimana sebuah sistem mampu menghasilkan pemimpin yang kompeten, bersih, dan berpihak pada pembangunan. Karena itu, perubahan mekanisme pemilihan semestinya dinilai dari outcome dan governance impact, bukan hanya dari prosedur.
Baca Juga:
Usulan Cak Imin Gubernur Dipilih Pusat, Ketua Komisi II Sebut Berpotensi Kangkangi konstitusi
Demokrasi Tidak Seragam
Di banyak negara demokratis, kepala daerah tidak selalu dipilih secara langsung oleh rakyat. Di Jerman, misalnya, banyak kepala daerah dipilih oleh parlemen lokal (Landtag) dengan mekanisme uji kelayakan yang ketat. Di India, beberapa negara bagian juga memilih Chief Minister melalui pemungutan suara di parlemen negara bagian, bukan oleh rakyat langsung. Inggris dan Belanda menerapkan model penunjukan kepala daerah dengan dasar seleksi merit dan pertimbangan politik lokal yang akuntabel.
Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu model demokrasi yang seragam. Pilihan sistem bergantung pada kebutuhan, konteks kelembagaan, dan desain checks and balances yang diterapkan. Demokrasi tidak kehilangan substansinya selama tetap menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses seleksi.
Baca Juga:
Demo soal Limbah B3 RSU Bethesda Gunungsitoli, DPRD: Siapa Korban, Masyarakat yang Mana?
Tekanan Biaya Politik
Pilkada langsung memang memberi ruang partisipasi luas, tetapi juga membawa beban biaya politik yang tidak sedikit. Kajian KPK menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah bisa mencapai miliaran rupiah. Beban finansial ini menjadi akar dari berbagai praktik koruptif, seperti politik balas budi, jual beli jabatan, dan proyek yang tidak efisien.
Beban biaya tinggi ini pada akhirnya mengorbankan pelayanan publik dan pembangunan jangka panjang. Jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, dengan skema seleksi terbuka dan transparan, maka biaya politik bisa ditekan. Efisiensi ini menjadi penting, terlebih dalam kondisi fiskal negara dan daerah yang saat ini menghadapi tekanan serius akibat dinamika global dan kebutuhan belanja pembangunan yang tinggi.