KLAIM sepihak dan ilegal China atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan melalui Sembilan Garis Putus-Putus (Nine-Dash Line) tahun 1993 memantik peningkatan suhu konflik maritim yang mengancam kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia.
Klaim China mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan, termasuk perairan yang secara historis dan berdasarkan Hukum Laut Internasional merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau.
Baca Juga:
Resmi Jadi Presiden-Wapres RI 2024-2029, LP3BH Manokwari Ucapkan Selamat Bekerja kepada Prabowo - Gibran
Aksi provokatif China terus terjadi. Sebut saja misalnya, di tahun 2019, 2010, 2013, 2020, 2021 dan 2022, kapal China Coast Guard (CCG) melakukan manuver intimidatif terhadap sejumlah kapal nelayan Indonesia di perairan Natuna.
Eskalasi ketegangan tak berhenti sampai di situ. Pada Agustus 2023, China bahkan pamer peta nasionalnya dalam versi baru.
Peta ilegal itu sontak memicu protes dan kemarahan dari negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, India, Filipina, dan Vietnam. Pasalnya, peta itu juga menabrak batas kedaulatan negara-negara tersebut.
Baca Juga:
Pemkab Buol Ajak Masyarakat dan Pemuda Amalkan Pancasila Jaga Keutuhan NKRI
Padahal sebelumnya, tepatnya di tahun 2016, pengadilan internasional telah memutuskan bahwa peta versi China itu tidak memiliki dasar hukum. Namun, Beijing tetap bersikeras pada legitimasi garis perbatasan yang diklaim secara sepihak dalam peta nasional mereka.
Aksi ini kian memperuncing ketegangan di perairan Laut China Selatan yang sudah rentan konflik, dan membawa dampak langsung bagi Indonesia.
Nelayan Indonesia yang menggantungkan hidupnya di perairan Laut Natuna Utara kerap menghadapi gangguan dan intimidasi dari sejumlah kapal penjaga pantai China.
Mereka mau tidak mau membatasi wilayah tangkapan ikan atau bahkan tidak melaut sama sekali lantaran merasa terancam keselamatannya.
Klaim tanpa bukti China atas perairan yang bersentuhan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, bagaimanapun, patut diwaspadai.
Ketegangan geopolitik ini tak hanya membawa konsekuensi bagi negara-negara yang terlibat, tapi juga berdampak pada keamanan maritim, perdagangan internasional, dan kelestarian lingkungan laut, hingga membebani perekonomian nasional dalam jangka panjang.
Pelanggaran Zona Maritim
Meski Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis, potensi eskalasi konflik Laut China Selatan masih terbuka lebar. China berpotensi melakukan provokasi lebih lanjut yang memicu ketegangan, bahkan konfrontasi terbuka.
Tak ada salahnya kita mengingat kembali konsep filsuf Thomas Hobbes tentang kedaulatan negara. Menurut Hobbes, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi, utuh, dan tidak dapat dibagi-bagi.
Gagasan ini menggarisbawahi bahwa setiap negara memiliki otoritas penuh atas wilayah kedaulatannya, termasuk perairan dan laut teritorialnya.
Sebaliknya, mengacu pada hukum internasional, klaim China adalah omong kosong, karena hukum laut internasional tidak mengakui konsep traditional fishing ground yang diusung negara tirai bambu itu.
Konsep yang telah disepakati adalah traditional fishing right di wilayah perairan kepulauan, bukan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ataupun laut teritorial. Traditional fishing right pun harus diatur melalui perjanjian antarnegara.
Dengan demikian, tidak ada kapal ikan asing yang dapat menangkap ikan di ZEE suatu negara tanpa izin dari negara pantai tersebut.
Kapal coast guard China yang wara wiri wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tepatnya di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, Senin (14/9/2020). [Dok.Bakamla].
Dengan menggunakan dalih traditional fishing ground, China secara implisit tidak mengakui ZEE Indonesia. Padahal Indonesia telah mengklaim ZEE sejak 1983 melalui UU No. 5 Tahun 1983, dan China tidak pernah mengajukan keberatan.
Artinya, China telah mengakui klaim Indonesia atas ZEE-nya. Namun, tiba-tiba China mengirimkan penjaga pantai untuk menjaga kapal ikannya jauh keluar dari laut teritorial dan ZEE China, yang diukur dari daratan utama China.
Hal ini mengindikasikan bahwa China menganggap perairan Natuna sebagai wilayah yurisdiksinya, sesuai dengan klaim sepihak nine dash line, meskipun absurd dan tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Dalam perkembangan hukum, laut tidak dimiliki oleh siapa pun. Negara-negara hanya dapat mengklaim laut yang berbatasan dengan daratannya, seperti laut teritorial, zona tambahan, landas kontinen, dan ZEE, dengan alasan keamanan nasional.
Dengan demikian, jelas tak ada klaim atas laut tanpa adanya daratan. Sedangkan jarak antara China dan titik terluar nine dash line terlalu jauh, melebihi batas 200 mil laut dari pantai untuk ZEE yang diakui dalam hukum laut.
Jika hukum internasional mengakui historical title atas laut sebagaimana dilakukan China, maka konsekuensi logisnya, semua samudra di dunia dapat diklaim oleh Inggris karena mereka telah menguasai lautan sejak dulu.
Aksi China ini dikenal sebagai unilateral claim, yang tidak serta-merta bisa mengikat dan memaksa negara lain untuk mengakuinya, karena hukum internasional mengenal penolakan secara terus-menerus atau persistent objection.
Sebaliknya, Indonesia tetap konsisten melakukan persistent objection sejak awal dan sikap ini tak pernah berubah. Terlebih, hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara sah sepenuhnya berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea).
Gagasan Crowdsourcing
Di tengah situasi ini, kita perlu berpikir kreatif dan inovatif untuk mencari solusi yang komprehensif dan inklusif.
Tidak hanya melakukan peaceful display of sovereignty dengan menghadirkan patroli berkesinambungan, pemantauan radar yang efektif dan berdaya jangkau tinggi, serta pembangunan pangkalan TNI AL di daerah terdekat.
Pemerintah perlu lebih menggalakkan kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang arti penting kedaulatan maritim bagi keberlangsungan NKRI.
Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan saat ini adalah membentuk platform crowdsourcing maritim yang melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, baik negara, organisasi non-pemerintah, akademisi, maupun masyarakat sipil.
Crowdsourcing maritim adalah konsep yang memanfaatkan kekuatan kolektif dari berbagai pemangku kepentingan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan membagikan data serta informasi terkait dengan isu-isu kelautan.
Dengan menggunakan teknologi digital dan media sosial, platform ini dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pengawasan, pemantauan, dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan konflik Laut China Selatan.
Pengembangan platform crowdsourcing maritim ini berbasis pandangan filsuf John Locke tentang kedaulatan negara. Locke menggarisbawahi bahwa kekuasaan negara berasal dari persetujuan rakyat, dan negara harus menjamin hak-hak individu serta melindungi masyarakat, termasuk kepentingan maritimnya.
Salah satu manfaat utama platform crowdsourcing maritim adalah terhimpunnya informasi real-time dari masyarakat yang akan membantu otoritas untuk merespons secara cepat setiap ancaman dalam berbagai bentuk, baik langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, partisipasi aktif berbagai elemen masyarakat, baik dalam menyampaikan informasi, usulan, hasil penelitian, maupun dampak suatu aksi, akan menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dalam menjaga laut.
Konsep crowdsourcing sebenarnya sudah diimplementasikan di berbagai bidang lain, termasuk untuk kepentingan maritim, meski belum dalam bentuk platform terintegrasi.
Beberapa contoh penerapan crowdsourcing di bidang maritim di antaranya adalah organisasi non-profit seperti The Ocean Cleanup yang melibatkan partisipasi publik global melalui aplikasi untuk melapor dan memetakan lokasi sampah plastik di laut. Data ini digunakan untuk operasi pembersihan sampah laut.
Sedangkan di Tanah Air, ada Pusat Data Kelautan Indonesia (PDKI). Platform ini mengajak masyarakat mengunggah data seperti kondisi terumbu karang, sampah laut, suhu permukaan laut, dan lain-lain, untuk memonitor kesehatan laut Indonesia.
Jadi secara umum, konsep crowdsourcing sudah diterapkan namun dalam lingkup yang masih sangat terbatas.
Belum tersedia platform terintegrasi yang komprehensif untuk pengawasan maritim guna menghadapi dampak dan ancaman dari konflik di Laut China Selatan.
Melalui partisipasi aktif berbagai elemen masyarakat termasuk akademisi, peneliti, hingga lembaga swadaya masyarakat, data dan informasi yang terkumpul dapat menjadi sumber daya berharga bagi pemerintah dan organisasi internasional dalam mengambil keputusan yang tepat, serta mengembangkan kebijakan yang efektif.
Kapal Coast Guard China-5202 dan Coast Guard China-5403 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020). [Antara].
Verifikasi Data yang Ketat
Tentu saja, pembentukan platform crowdsourcing maritim ini bukan tanpa tantangan.
Salah satu isu utama yang perlu dipertimbangkan adalah keamanan data dan privasi informasi yang dikumpulkan. Selain itu, juga perlu dipastikan bahwa data dan informasi yang dibagikan adalah akurat, terpercaya, dan bebas dari bias atau manipulasi.
Platform crowdsourcing maritim harus memiliki mekanisme verifikasi dan validasi data yang ketat, serta sistem keamanan yang kuat untuk melindungi informasi sensitif.
Selain itu, kepercayaan dan kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat sipil perlu dibangun untuk memastikan keberhasilan platform ini.
Melibatkan masyarakat pesisir dan pelaut sebagai mata dan telinga di perairan akan memberikan kekuatan baru dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia.
Lebih jauh lagi, platform ini dapat memfasilitasi dialog dan komunikasi antara pihak-pihak yang berkonflik, serta membantu mengidentifikasi area-area yang membutuhkan perhatian khusus, seperti perlindungan lingkungan laut, pengelolaan sumber daya perikanan, dan keamanan maritim.
Implementasi crowdsourcing maritim di Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut:
1. Pengembangan Aplikasi
Pengembangan aplikasi berbasis ponsel yang ramah pengguna, dan bisa memudahkan semua pihak untuk berpartisipasi dalam proses crowdsourcing maritim dengan memberikan atau mengumpulkan data, informasi, dan pendapat dari masyarakat.
2. Pengembangan Platform
Pengembangan platform online yang memungkinkan masyarakat untuk mengumpulkan informasi, ide, dan pendapat. Platform ini dilengkapi fitur sistem penilaian, verifikasi, penyebaran informasi, dan pengumpulan data.
3. Pengembangan Komunitas
Pengembangan komunitas ini di antaranya adalah membangun kelompok masyarakat yang berfokus pada memerangi berita palsu di Indonesia. Sebagai contoh, sebut saja misalnya Masyarakat Indonesia Anti Hoaks Indonesia (MAHI), dan telah melakukan penelitian tentang crowdsourcing.
4. Pengembangan Model
Pengembangan model crowdsourcing yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Model ini dapat berupa model yang memungkinkan berbagai elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses crowdsourcing maritim.
5. Pengembangan Sistem
Pengembangan sistem yang dapat digunakan untuk mengumpulkan dan mengelola data yang dikumpulkan melalui crowdsourcing. Contoh sistem ini termasuk data tentang keamanan laut, pengelolaan sumber daya laut, dan lingkungan laut.
4. Pengembangan Kualitas
Pengembangan kualitas aplikasi, platform, dan sistem yang digunakan untuk crowdsourcing maritim agar bisa dipastikan keamanan maupun keandalannya. Kapasitasnya tidak membebani perangkat, tetapi berfungsi optimal.
6. Pengembangan Edukasi
Pengembangan edukasi merupakan bagian yang krusial untuk membantu masyarakat memahami pentingnya crowdsourcing maritim. Edukasi ini meliputi cara menggunakan aplikasi, platform, dan sistemnya, sehingga lebih berdaya guna.
7. Pengembangan Pengawasan
Laporan yang masuk dari masyarakat akan divalidasi dan ditindaklanjuti oleh pihak berwenang seperti Bakamla, TNI AL, atau instansi terkait lainnya. Mekanisme pengawasan ini memanfaatkan kekuatan partisipasi masyarakat pantai secara masif dan real-time.
Secara faktual gangguan di wilayah perairan Natuna bukan hanya dari China. Tercatat tiga negara lain yang pernah melakukan aksi provokatif.
Vietnam, Taiwan, dan Korea Selatan pernah melancarkan manuver yang dianggap sebagai tindakan intimidasi terhadap nelayan Indonesia. Bahkan, Taiwan dan Korea Selatan berani mengklaim sebagian wilayah perairan Natuna sebagai bagian dari teritorinya.
Indonesia harus mewaspadai potensi gangguan dari berbagai arah. Kepungan ancaman ini menuntut NKRI untuk terus memperkokoh pertahanan dan penjagaan di kawasan strategis tersebut.
Tak ada toleransi bagi tindakan provokatif pihak manapun yang mengganggu kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedaulatan negara adalah fondasi utama dari eksistensi sebuah negara. Tanpa kedaulatan yang kokoh, negara akan mudah tergoyahkan oleh intervensi eksternal dan konflik internal, sebagaimana diungkapkan Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dan guru besar Universitas Indonesia.
Menjaga kedaulatan juga sangat krusial untuk posisi dan pengaruh sebuah negara di panggung global. Dengan partisipasi kooperatif seluruh elemen bangsa, kedaulatan dan keamanan laut NKRI dipastikan bakal lebih tangguh tanpa kompromi. (*)
Penulis, Aktivis Lingkar Cendekia Hukum dan Geostrategi (Licenstra).