Oleh ABEL PARVEZ
Baca Juga:
Sambut Baik Dukungan Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya, Al Haris : Buktikan Kita Solid
ESENSI pembeda antara norma hukum dengan norma lain adalah adanya unsur yang memaksa.
Unsur tersebut menjadikan hukum memiliki kekuatan yang absolut dalam tatanan kehidupan masyarakat sehingga patutlah diarahkan untuk mewujudkan cita hukum (rechtsidee) masyarakat yang bersangkutan guna menciptakan keseimbangan.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Tidak heran bila akhirnya muncul paradigma akan hukum dan keadilan merupakan conditio cine qua non atau one can't exist without others.
Keadilan telah menjiwai hukum dikarenakan semua masyarakat dalam peradaban mana pun pasti akan menjadikan keadilan sebagi dewa kebenaran mereka.
Adagium hukum berupa fiat justitia ruat cuellum (tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh) yang diproklamirkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus sejak abad ke-43 SM menjadi bukti nyata bahwa keadilan menjadi cita hukum yang diinginkan oleh masyarakat di ruang dan waktu mana pun.
Terlepas dari memiliki cita hukum yang sama, realitanya masyarakat tetap terbelah dalam memandang hukum dan keadilan itu sendiri.
Keadilan sebagai nilai yang menjiwai hukum sangatlah abstrak sehingga banyak sekali tafsir-tafsir subjektif yang memunculkan lahirnya beragam teori-teori tujuan hukum oleh berbagai pakar dari banyak lintas zaman.
Di antara pakar-pakar tersebut, terdapat beberapa teori yang meninggalkan tinta permanen dalam perkembangan ilmu hukum.
Pertama, terdapat teori etis karya Aristoteles yang sangat dominan dengan nilai keadilan murni.
Menurut Aristoteles, keadilan mutlak menjadi tujuan dari hukum dan patut ditegakkan apapun bayarannya.
Adapun keadilan bagi Aristoteles terbagi menjadi lima jenis, yakni keadilan distributif (membagikan pada seseorang berdasarkan jasanya), keadilan kumulatif (membagikan pada tiap orang secara sama rata), keadilan kodrat alam (yang memperlakukan tiap orang atas dasar hukum alam), keadilan konvensional (yang dinilai dari kepatuhan pada hukum positif atau hukum yang berlaku), dan keadilan perbaikan (yang berorientasi pada pemulihan keadaan yang dirusak).
Lima jenis keadilan ini telah menjadi tanah pijakan yang mendasar dalam memahami arti dari keadilan yang dapat muncul dalam bentuk yang beragam sesuai dengan keadaannya.
Tidak selalu berupa keadaan yang harus sama rata untuk semua.
Teori ini pada praktiknya terlalu utopis sehingga sering sekali membawa kemudaratan terlepas dari betapa esensialnya nilai keadilan dalam hukum.
Bila Aristoteles menekankan pada nilai keadilan yang harus ditegakkan apapun caranya, maka Jeremy Bentham justru sebaliknya.
Jeremy Bentham menciptakan teori utilitas yang menekankan hukum haruslah diarahkan untuk memberikan kemanfaatan pada khalayak atau sering dikenal dengan istilah the greatest happiness of the greatest numbers.
Adapun yang dimaksud dengan utilitas atau kemanfaatan tersebut adalah objek apapun yang dapat menghasilkan kebaikan, kenikmatan, dan kebahagiaan sehingga dapat mencegah nestapa bagi pihak yang dirugikan kepentingannya.
Utilitas tersebut harus dijadikan pertimbangan wajib bagi legislator dalam kegiatan legislasinya.
Teori utilitas yang diciptakan oleh Jeremy Bentham ini tidak terlepas dari zaman yang dia lalui semasa hidupnya yaitu era Revolusi Industri I ketika produksi demi kemaslahatan khalayak menjadi patokan keadilan.
Kelemahan dari teori ini adalah ketiadaan moral etis di saat ada minoritas yang kepentingannya dikorbankan demi kemaslahatan mayoritas.
Kebalikan dari Jeremy Bentham, gagasan dari John Rawl yaitu teori liberal-egalitarian of social justice berfokuskan pada kewajiban dari institusi-institusi sosial untuk memberdayakan kelompok-kelompok lemah atau rentan.
Teori ini memiliki prinsip dasar yaitu original position dan veil of ignorance.
Original position adalah realitas absolut yang tidak terbantahkan bahwa posisi tiap individu itu sederajat berdasarkan rasionalitas, kebebasan, dan kesetaraan yang menjadi struktur dasar dari masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan veil of ignorance adalah kebutaan dari orang-orang untuk mengetahui original position sehingga terjadilah ketidakadilan karena adanya ketimpangan dan penindasan antara si kuat dan si lemah.
John Rawls menginginkan agar institusi-institusi sosial menegakkan keadilan dengan memberantas veil of ignorance guna membuat struktur sosial kembali ke asalnya yaitu kesetaraan dan kesederajatan.
Hal ini dapat ditempuh dengan memberikan akses kesempatan pada si lemah secara khusus dan pada semuanya secara umum.
Bila sebelumnya telah dijelaskan tentang hukum untuk keadilan atau untuk kemanfaatan, maka selanjutnya adalah teori normatif-dogmatik karya John Austin dan Van Kan.
Teori normatif-dogmatik pada dasarnya berkutat pada kepastian hukum yang sangat didominasi dengan pemikiran positivistis sehingga hukum haruslah tertuang dalam bentuk peraturan tertulis dan berdiri sendiri.
Kepastian hukum dalam teori ini adalah kristalisasi hak dan kewajiban dengan memberikan kelegalan sehingga dengan mematuhi peraturan perundang-undangan tertulis, maka itu dikatakan adil.
Van Kan memandang bahwa peraturan perundang-undangan sudah pasti memuat kepentingan orang-orang.
Menjaga kepastian hukum dengan sendirinya sudah menjaga keadilan itu sendiri.
Kelak pandangan ini akan menjadi suatu kekeliruan karena pada hakikatnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum merupakan tujuan-tujuan hukum yang berbeda.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, maka dapat dipahami bahwa dalam perjalanannya banyak sekali orang yang memandang bahwa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum adalah hal yang serupa.
Namun, kenyataannya tidak demikian.
Perkembangan ilmu hukum yang telah melalui perjalanan sangat panjang telah mengambil kesimpulan bahwa tujuan hukum secara garis besar adalah keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Cita hukum pada dasarnya bukan hanya mencakup keadilan, melainkan juga kemanfaatan dan kepastian hukum sehingga perlu adanya ekuilibrium dalam perumusan peraturan perundang-undangan guna menghindari adanya hukum yang justru mengarahkan masyarakat pada nestapa.
Adapun keadilan itu pada dasarnya bertujuan untuk mengarahkan pada proporsionalitas yang tidak harus dalam wujud sama rata seperti yang telah dijelaskan di awal.
Hukum jauh lebih kompleks daripada persoalan keadilan saja.
Terdapat tiga jiwa yang harus dimiliki hukum agar terwujudnya cita hukum yang sejati. (Abel Parvez, Kolumnis)-dhn
Artikel ini telah tayang di DetikNews dengan judul “Mencari Jati Diri Cita Hukum”. Klik untuk baca: https://news.detik.com/kolom/d-5816655/mencari-jati-diri-cita-hukum.