WahanaNews.co | Wilayah gurun di Mekkah, Arab Saudi, berubah jadi hijau usai diguyur hujan. Peneliti pun mengungkap potensi kerusakan ekosistem gurun jika terus dilanda air dari awan.
Sebelumnya, dalam berbagai unggahan media sosial lokal tampak pegunungan dan tanah datar di Mekkah menghijau bak wilayah tropis. Netizen lantas mengaitkannya dengan tanda-tanda kiamat.
Baca Juga:
104 Calon Haji Deli Serdang Berangkat ke Mekkah: Doa dan Harapan Pj Bupati
Sementara, para ahli klimatologi menilai fenomena itu wajar di gurun setelah curah hujan yang tinggi.
Masalahnya, jika hujan itu terjadi terus-terusan, apakah itu berarti positif bagi lingkungan gurun?
Peneliti mengatakan hujan dapat menyebabkan ekosistem rusak dari penelitian mereka di Gurun Atacama, Chile, berjudul 'Unprecedented rains decimate surface microbial communities in the hyperarid core of the Atacama Desert'.
Baca Juga:
Kemenag Luncurkan Kanal Jemaah Lapor Gusmen, Berikut Fungsinya
Dalam jurnal yang diterbitkan pada 2018 di Scientific Reports itu, Alberto Fairén dan rekan-rekannya menemukan populasi mikroba di gurun ini menurun drastis setelah wilayah tersebut diguyur hujan terus-menerus.
Gurun Atacama diperkirakan tetap dalam keadaan hyperarid atau sangat kering yang hampir permanen selama sekitar 15 juta tahun, dan tidak ada catatan tentang curah hujan yang signifikan dalam 500 tahun terakhir.
Hal tersebut berubah tiba-tiba beberapa tahun yang lalu, ketika gurun mengalami peristiwa hujan yang sangat jarang terjadi pada bulan Maret dan Agustus 2015, serta Juni 2017.
Kemarau panjang memang terhenti. Namun, beberapa hal lain rusak, salah satunya bentuk kehidupan yang telah berevolusi untuk bertahan dalam ekosistem yang sangat gersang. Bentuk kehidupan ini tidak dapat beradaptasi pada perubahan mematikan yang tiba-tiba.
"Saat hujan turun di Atacama, kami berharap bunga mekar yang megah dan gurun yang hidup kembali," ujar Fairén yang merupakan ahli astrobiologi dari Cornell University dan Centro de Astrobiología Spanyol, seperti dikutip ScienceAlert.
"Sebaliknya, kami belajar sebaliknya, karena kami menemukan bahwa hujan di inti hyperarid Gurun Atacama menyebabkan kepunahan besar-besaran sebagian besar spesies mikroba asli di sana."
Sebelum hujan datang ke Atacama, sampel tanah yang diambil dari wilayah Yungay yang terletak di inti gurun menunjukkan keberadaan 16 spesies mikroba yang berbeda.
Karena karakteristiknya yang sunyi, area tersebut sering dipelajari sebagai semacam simulasi untuk penelitian soal potensi kehidupan di Mars. Salah satu kemiripannya adalah lingkungan Atacama yang tidak ramah.
Hujan kemudian meninggalkan genangan air di lanskap yang cuma pernah mengenal kata kekeringan.
Analisis tanah menunjukkan populasi mikroba Yungay telah mengalami kepunahan massal dengan hilangnya sekitar 75 hingga 87 persen spesies dari total yang dilaporkan sebelumnya.
"Setelah hujan, hanya ada dua hingga empat spesies mikroba yang ditemukan di laguna," kata Fairén.
"Hasil kami menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa menyediakan air dalam jumlah besar secara tiba-tiba untuk mikroorganisme - yang diadaptasi dengan sangat baik untuk mengekstrak kelembapan yang sedikit dan sulit dipahami dari lingkungan yang paling kering - akan membunuh mereka karena kejutan osmotik," tambahnya.
Kejutan osmotik terjadi ketika zat terlarut dalam cairan di sekitar sel tiba-tiba berubah konsentrasinya, yang kemudian dengan cepat mengubah cara air mengalir melalui membran sel, dan menyebabkan stres akut.
Banyak spesies telah berevolusi dengan berbagai cara untuk mempertahankan diri dari tekanan seluler ini. Namun, mikroba Yungay tidak dapat bertahan dan kini hanya menyisakan populasi 2-4 spesies mikroba.
Melansir CNN Indonesia, meski demikian, temuan tersebut memiliki sisi positif bagi manusia, temuan ini menawarkan wawasan baru yang berharga tentang bagaimana mikrobiota dapat beradaptasi untuk bertahan hidup di dunia asing yang sama tandusnya. [rna]