WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pernahkah kamu merasa iri terhadap kesuksesan orang lain? Atau mungkin menyimpan dendam terhadap seseorang yang menyakitimu?
Kedua emosi ini, meskipun terasa wajar sebagai bagian dari pengalaman manusia, sebenarnya memengaruhi otak kita dengan cara yang sangat menarik.
Baca Juga:
Sikapnya Manipulatif, Ini 8 Tanda Orang yang Iri dan Dengki pada Kita
Iri dan dendam bukan hanya perasaan yang kita rasakan secara emosional, tetapi juga reaksi yang secara aktif memengaruhi kerja otak.
Dalam momen tersebut, otak kita mengalami berbagai proses kompleks yang melibatkan bagian-bagian tertentu seperti sistem reward dan area yang berkaitan dengan pengambilan keputusan.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam otak kita ketika rasa iri atau dendam muncul? Mengapa dua perasaan ini, meskipun sering dianggap negatif, terkadang begitu sulit untuk dihindari?
Baca Juga:
Hindari, Ini 6 Penyakit Hati yang Mengganggu Ketenangan Batin
Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kedua emosi ini memiliki fungsi evolusioner yang dalam, meskipun di era modern, efeknya lebih sering membuat kita terjebak dalam lingkaran rasa sakit emosional.
Artikel ini akan membahas bagaimana aktivitas otak memengaruhi dan dipengaruhi oleh rasa iri dan dendam, serta bagaimana kita bisa memahami mekanismenya untuk menjalani hidup yang lebih tenang dan damai.
Mari kita eksplorasi bagaimana perasaan-perasaan ini muncul di dalam otak dan apa yang bisa kita pelajari dari mereka.
Siapa tahu, dengan memahaminya, kamu bisa mulai melepaskan diri dari beban emosi yang selama ini menghantui pikiranmu.
Ketika rasa iri muncul, otak kita memicu aktivitas di bagian korteks cingulate anterior dorsal, yaitu area yang juga terlibat dalam merasakan rasa sakit sosial.
Rasa iri biasanya timbul ketika kita merasa tidak puas dengan situasi diri sendiri saat membandingkan dengan keberhasilan orang lain.
Otak mengartikan perasaan ini sebagai ancaman terhadap harga diri, sehingga memicu respon emosional yang terkadang sulit dikendalikan.
Menariknya, sistem reward otak juga berperan. Ketika orang yang membuat kita iri mengalami kegagalan, otak justru mengaktifkan pusat kesenangan, memberikan perasaan puas yang ironis.
Di sisi lain, dendam melibatkan bagian otak yang lebih kompleks, termasuk amigdala, pusat emosi yang memproses rasa marah dan takut.
Ketika seseorang menyakiti kita, otak memandangnya sebagai ancaman yang membutuhkan respon. Aktivitas di korteks prefrontal medial, yang mengatur pengambilan keputusan dan pengendalian diri, meningkat saat kita memikirkan cara membalas dendam.
Namun, dendam juga memicu aktivitas di ventral striatum, area yang terkait dengan perasaan reward, sehingga tindakan balas dendam dapat memberikan sensasi puas sesaat.
Namun, efek jangka panjang dari iri dan dendam tidaklah positif. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan ini dapat meningkatkan stres, memengaruhi kesehatan mental, dan bahkan memperlemah sistem imun.
Ketika otak terus-menerus berada dalam mode waspada akibat dendam atau iri, tubuh menghasilkan kortisol dalam jumlah berlebih. Hal ini berujung pada kelelahan emosional dan fisik yang berbahaya jika dibiarkan terlalu lama.
Penelitian dari University of California, Berkeley, menemukan bahwa menyimpan dendam atau perasaan iri yang berkepanjangan dapat meningkatkan kadar hormon stres, seperti kortisol, yang menyebabkan gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi, gangguan tidur, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Hal ini sejalan dengan temuan bahwa emosi negatif kronis dapat mempercepat proses penuaan.
Menariknya, otak juga memiliki kemampuan untuk keluar dari siklus ini. Proses memaafkan, misalnya, melibatkan peningkatan aktivitas di area otak seperti korteks prefrontal ventromedial, yang membantu menenangkan emosi negatif dan mendorong rasa empati.
Dengan melatih empati dan rasa syukur, kita dapat meredam aktivitas otak yang memicu rasa iri dan dendam, sehingga menjalani hidup yang lebih sehat secara emosional.
Memahami bagaimana otak bekerja ketika kita merasa iri atau dendam memberikan wawasan berharga tentang diri kita sendiri.
Dengan menyadari apa yang terjadi di dalam kepala kita, kita dapat belajar untuk mengelola emosi tersebut, menghindari efek negatifnya, dan fokus pada hal-hal yang lebih bermanfaat.
Karena pada akhirnya, mengendalikan pikiran adalah kunci untuk mencapai kedamaian.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]