WahanaNews.co | Akses internet menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh semua orang, termasuk anak-anak.
Bagi siswa, internet memang sangat menunjang kegiatan belajar, terutama di masa pandemi.
Baca Juga:
Bos NVIDIA Ungkap AI Bisa Jadi Senjata RI Genjot Pertanian
Beragam manfaat mulai dari sarana komunikasi hingga mendapatkan informasi.
Namun, sisi lain dari penggunaan internet bagi anak usia sekolah adalah fenomena perundungan di dunia maya atau cyberbullying yang kian marak.
Berdasarkan Laporan Survei Internet Indonesia yang disusun oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per 2021-2022(Q1), tingkat penetrasi internet pada anak usia 5-12 tahun mencapai 62.43 persen, sedangkan pada anak usia 13-18 penetrasi internetnya sebesar 99,16 persen.
Baca Juga:
Gara-Gara Jaringan Internet, Puluhan Siswa SD di Doreng Jalani ANBK di Pusat Kota Maumere
Sebanyak 90,61 persen anak usia 13-18 tahun tersebut mengakses internet melalui gawai.
Center For Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 melakukan penelitian bertajuk Teenager-Related Cyberbullying Case In Indonesia terhadap 3.077 siswa SMP dan SMA usia 13-18 dari 34 provinsi di Indonesia.
Hasil penelitian terkait cyberbullying tersebut menyebutkan sebanyak 1.895 siswa arau 45,35 persen mengaku pernah menjadi korban, sementara 1.182 siswa atau 38,41 persen lainnya menjadi pelaku.
Cyberbullying platform sosial media yang jamak digunakan WhatsApp, Instagram dan Facebook.
Adapun perilaku cyberbullying yang paling sering dilakukan adalah kekerasan siber, pencemaran nama baik, serta pengucilan.
Dari sisi dampak, menurut UNICEF, cyberbullying akan mempengaruhi tiga aspek yakni mental, emosional dan fisik. Secara mental, siswa yang mengalami cyberbullying akan merasa kesal, malu, bodoh bahkan marah.
Dari aspek emosional, korban cyberbullying akan kehilangan minat pada hal-hal yang disukai.
Untuk aspek fisik, dampak yang paling dirasakan korban cyberbullying adalah lelah atau kurang tidur, sakit perut dan sakit kepala.
Dalam kasus yang ekstrim, cyberbullying bahkan bisa memicu seseorang menjadi depresi hingga melakukan bunuh diri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Zulfadly Syam menyebutkan ada enam hal yang menjadi penyebab maraknya cyberbullying yakni moral sebatas offline, buta perlindungan data pribadi, internet hanya ranah hiburan, perkembangan komunitas, community development rendah, penegakan hukum, law enforcement, dan eksploitasi simbol.
Hal itu diungkapkan dia dalam webinar bertajuk "Mencegah Tindakan Cyberbullying pada Siswa" yang diselenggarakan oleh KGSB (Komunitas Guru Satkaara Berbagi) pada Sabtu, 23 Juli 2022. "Untuk itu perlu ada sosialisasi etika berinternet dan bersosial media dengan bijak," katanya.
Perlunya sekolah meningkatkan literasi mengenai cyberbullying dan mengarahkan anak- anak memanfaatkan internet untuk hal yang produktif dan positif karena kita tidak bisa menahan laju perkembangan teknologi yang cepat dan massif.
Zulfadly menjelaskan perlu menggunakan metode B-I-J-A-K dalam mencegah cyberbullying.
B adalah menggunakan bahasa yang baik. I merupakan penggambaran Ikon emosi, J adalah Jangan sharing sebelum disaring.
A diwujudkan dengan Atur data pribadi serta K adalah Kuatkan password supaya tidak mudah diretas orang lain.
Sementara Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat sekaligus Pelaksana tugas Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati menjelaskan perihal regulasi hukum, beberapa undang-undang terkait cyberbullying yakni UU ITE pasal 27 (1), pasal 27(3), pasal 29, pasal 28 (2) serta pasal 14 UU TPKS.
Dia mengatakan perlu kehati-hatian dan tinjauan lebih lanjut dalam penggunaan regulasi-regulasi tersebut.
Namun, ia menekankan sanksi hukum yang diterapkan kepada pelaku cyberbullying merupakan solusi terakhir dari berbagai upaya penyelesaian.
Adapun upaya pencegahan yang bisa dilakukan di lingkungan sekolah adalah dengan penyebaran kesadaran kepada murid terkait cyberbullying, tidak melakukan viktimisasi serta menjadikan cyberbullying dan dampaknya sebagai topik pelajaran yang relevan di sekolah.
“Pada dasarnya, anak adalah anak. Sebagai pendidik kita perlu lebih bersikap terbuka terhadap apa yang kita tidak tahu. Dalam banyak kasus cyberbullying, yang menyelamatkan siswa bukanlah hukum atau pendisiplinan melainkan respon dari lingkungan terdekat termasuk guru,” tuturnya.
Cyberbullying merupakan sisi lain dari internet yang melewati batas.
Oleh sebab itu, kata dia, fenomena tersebut perlu disikapi oleh semua pihak dengan baik terlebih guru dan tenaga pendidik sebagai support system siswa.
Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti, mengungkapkan seiring perkembangan zaman, cyberbullying merupakan perkembangan dari traditional bullying.
Bedanya pada cyberbullying terjadi di mana saja, khususnya online dan kapan saja, pelaku anonim dan lebih sulit teridentifikasi.
Namun semua anak yang terpapar cyberbullying dapat menderita.
"Baik itu korban, pelaku dan orang yang menyaksikan," katanya. [jat]