WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badai Matahari terkuat terjadi pada awal Oktober 2024 dan memberikan dampak ke Bumi. Berdasarkan laporan NASA, puncak suar Matahari yang dikenal sebagai X9.05 terjadi pada 3 Oktober 2024 pukul 08.10 EDT atau pukul 19.18 WIB.
Fenomena ini mempengaruhi beberapa wilayah di Bumi, khususnya dengan memicu pemadaman radio gelombang pendek di Afrika dan Eropa, wilayah yang sedang terkena sinar Matahari saat letusan terjadi.
Baca Juga:
Pemkot Semarang dan BRIN Sukses Budidayakan Varietas Bawang Merah Lokananta Maserati
Suar Matahari X9.05 berasal dari kelompok bintik Matahari AR3842. Sebelumnya, pada 1 Oktober 2024, kelompok bintik Matahari yang sama telah melepaskan jilatan api dengan kekuatan X7.1.
Letusan ini juga menyebabkan pelepasan coronal mass ejection (CME), yaitu gumpalan plasma dan medan magnet yang meluncur menuju Bumi. Diperkirakan, CME tersebut akan menghantam Bumi antara 3 dan 5 Oktober.
Peristiwa ini kemungkinan akan memicu aurora yang meluas, seperti dilaporkan oleh Space pada Jumat (4/10/2024).
Baca Juga:
MTCRC Gelar Pelatihan Pemetaan Habitat Bentik Menggunakan Drone dan Sensor Multispektral
CME yang diarahkan ke Bumi terjadi setelah suar besar tersebut, sebagaimana dikonfirmasi oleh peramal cuaca luar angkasa dan ahli meteorologi Sara Housseal melalui sebuah unggahan di X.
Ini bisa menjadi kabar baik bagi para pemburu aurora, sebab CME dapat memicu badai geomagnetik yang dapat mengakibatkan peningkatan signifikan pada tampilan aurora.
"Sampai saat ini, saya mengantisipasi dampak di Bumi pada akhir tanggal 5 hingga awal tanggal 6," tulis Housseal.
CME membawa partikel bermuatan listrik yang dikenal sebagai ion. Ketika bertabrakan dengan magnetosfer Bumi, partikel tersebut dapat memicu badai geomagnetik.
Selama badai Matahari, ion-ion berinteraksi dengan gas di atmosfer Bumi dan menghasilkan cahaya sebagai hasil pelepasan energi. Fenomena ini dikenal sebagai aurora borealis di belahan Bumi utara dan aurora australis di belahan selatan.
Pemadaman radio gelombang pendek yang terjadi di Eropa dan Afrika disebabkan oleh radiasi dari jilatan api Matahari yang mengionisasi lapisan atas atmosfer saat mencapai Bumi.
Ionisasi ini menciptakan kondisi atmosfer yang lebih padat untuk sinyal radio gelombang pendek frekuensi tinggi, yang biasanya digunakan untuk komunikasi jarak jauh.
Saat sinyal melewati lapisan atmosfer yang terionisasi, energi sinyal berkurang karena tumbukan dengan elektron, yang dapat melemahkan atau bahkan menyerap sinyal sepenuhnya.
Suar Matahari yang terjadi pada 3 Oktober merupakan yang paling kuat dalam siklus Matahari saat ini, dan menjadi yang terhebat dalam tujuh tahun terakhir.
Sebelumnya, pada September 2017, dua suar besar dengan kekuatan X13.3 dan X11.8 terjadi pada fase penurunan siklus Matahari sebelumnya.
Sebagai catatan, suar Matahari dikategorikan berdasarkan kekuatannya. Suar kelas X adalah yang terkuat, sedangkan suar kelas M 10 kali lebih lemah, diikuti oleh suar kelas C yang 10 kali lebih lemah dari kelas M. Suar kelas B lebih lemah dari suar kelas C, dan suar kelas A adalah yang paling lemah dan tidak berdampak signifikan pada Bumi.
Setiap kelas dibagi lagi dengan angka dari 1 hingga 10 (dan seterusnya untuk suar kelas X) untuk menunjukkan kekuatan relatif suar tersebut.
Dampak Badai Matahari ke Indonesia
Menurut Peneliti Pusat Antariksa di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Johan Muhammad, dampak badai Matahari bagi warga Indonesia tidak akan sebesar di wilayah lintang tinggi seperti sekitar kutub Bumi.
Karena Indonesia terletak di khatulistiwa, jauh dari kutub, pengaruhnya lebih minim.
Namun, bukan berarti Indonesia sepenuhnya bebas dari dampaknya. Johan menjelaskan bahwa cuaca antariksa akibat aktivitas Matahari dapat menyebabkan gangguan pada sinyal radio frekuensi tinggi (HF) dan navigasi berbasis satelit.
"Di Indonesia, aktivitas Matahari bisa mengganggu komunikasi radio HF dan mengurangi akurasi navigasi satelit seperti GPS," jelas Johan, dikutip dari CNN Indonesia, melalui situs BRIN.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]