WahanaNews.co, Jakarta - Cerita-cerita mengenai fenomena penampakan makhluk tak kasat mata atau hantu kerap membuat bulu kuduk berdiri. Namun, bagaimana sebetulnya penjelasan penampakan menurut sains atau secara ilmiah?
Sejumlah pakar menjelaskan fenomena penampakan makhluk halus atau hantu berkaitan dengan perubahan sinyal di otak.
Baca Juga:
Ketua DPRD Sulbar dan Kadis PUPR Tinjau Tanah Bergerak di Mamuju Tengah
Sebuah studi dari Institut Teknologi Federal di Lausanne (EPFL) menyebut pasien yang menderita kondisi neurologis atau kejiwaan sering merasakan 'kehadiran' yang aneh.
Studi tersebut membuat para peneliti EPFL di Swiss berhasil menciptakan apa yang disebut ilusi hantu di laboratorium.
Pada 29 Juni 1970, pendaki gunung bernama Reinhold Messner mendapat pengalaman yang tidak biasa. Ia bercerita soal pengalamannya menuruni puncak gunung dengan saudara laki-lakinya dalam kondisi kedinginan, kelelahan, dan kekurangan oksigen di lanskap tandus yang luas.
Baca Juga:
La Nina Berpotensi Muncul di Indonesia, BMKG Ingatkan Waspada Dampak Buruknya
"Tiba-tiba ada pendaki ketiga bersama kami... sedikit di sebelah kanan saya, seorang beberapa langkah di belakangku, tepat di luar bidang pandangku," ujarnya, dikutip dari ScienceDaily, melansir CNN Indonesia, Selasa (29/10/2024).
Hal tersebut, katanya, tidak terlihat tetapi ada.
Kisah-kisah semacam ini telah dilaporkan berkali-kali oleh para pendaki gunung, penjelajah. Namun, kisah seperti ini juga dilaporkan oleh pasien yang menderita gangguan saraf atau kejiwaan.
Mereka yang melaporkan hal tersebut umumnya menggambarkan kehadiran yang dirasakan tetapi tidak terlihat, mirip dengan malaikat pelindung atau setan. Hal-hal yang sama sekali tidak bisa dijelaskan.
Tim peneliti Olaf Blanke di EPFL mengungkap "penampakan" sebenarnya hasil dari perubahan sinyal otak sensorimotor, yang terlibat dalam membangkitkan kesadaran diri dengan mengintegrasikan informasi dari gerakan kita dan posisi tubuh kita di ruang.
Penjelasan tersebut ditemukan usai para peneliti pertama-tama menganalisis otak dari 12 pasien dengan gangguan saraf.
Analisis MRI otak pasien menunjukkan adanya gangguan pada tiga daerah kortikal: korteks insular, korteks parietal-frontal, dan korteks temporo-parietal.
Ketiga area ini terlibat dalam hal kesadaran diri, gerakan, dan rasa posisi dalam ruang (proprioception). Bersama-sama, area ini berkontribusi pada pemrosesan sinyal multisensor, yang penting untuk persepsi tubuh sendiri.
Dalam studi yang diunggah di jurnal Current Biology, para ilmuwan kemudian melakukan percobaan "disonansi" di mana peserta yang ditutup matanya melakukan gerakan dengan tangan di depan tubuh.
Di belakang mereka, perangkat robot mereproduksi gerakan mereka dan menyentuh punggung mereka secara realtime.
Hasilnya adalah semacam perbedaan spasial, tetapi karena gerakan robot yang tersinkronisasi, otak peserta dapat beradaptasi dan mengoreksinya.
Kemudian, para ahli saraf memberi penundaan sementara antara gerakan peserta dan sentuhan robot. Dalam kondisi yang tidak sinkron ini terjadi distorsi persepsi temporal dan spasial yang membuat para peneliti mampu menciptakan kembali ilusi hantu.
Para peserta tidak menyadari tujuan percobaan. Setelah sekitar tiga menit sentuhan tertunda, para peneliti menanyakan apa yang mereka rasakan.
Secara naluri, subjek dalam studi ini melaporkan "rasa kehadiran" yang kuat, bahkan menghitung hingga empat "hantu" yang sebenarnya tidak ada.
"Bagi beberapa orang, perasaan itu begitu kuat sehingga mereka meminta untuk menghentikan eksperimen tersebut," kata Giulio Rognini, peneliti yang memimpin studi.
Hasil ini menegaskan bahwa ada persepsi yang berubah dari tubuh mereka sendiri karena sinyal-sinyal yang terjadi di otak.
"Eksperimen kami menginduksi sensasi kehadiran yang asing di laboratorium untuk pertama kalinya. Ini menunjukkan bahwa hal itu dapat muncul dalam kondisi normal, hanya melalui sinyal sensorik-motorik yang saling bertentangan," terang Blanke.
[Redaktur: Alpredo Gultom]