WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam langkah yang bisa mengubah peta kekuatan udara di Asia Tenggara, Indonesia dikabarkan bersiap membeli 42 jet tempur bekas Chengdu J-10C buatan China.
Tidak hanya itu, Jakarta juga kembali menunjukkan minat terhadap Su-35 buatan Rusia, kontrak yang sebelumnya sempat mengambang karena tekanan politik internasional.
Baca Juga:
Mesir Lirik J-35 China, Sinyal Retaknya Ikatan Militer dengan AS
Ketertarikan Indonesia terhadap J-10C mencuat setelah jet tersebut membuktikan ketangguhannya dalam pertempuran udara berisiko tinggi antara Pakistan dan India.
Dalam konflik tersebut, J-10C disebut-sebut berhasil menandingi, bahkan mengungguli, jet-jet tempur Barat.
Meski belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Pertahanan RI, laporan dari platform intelijen militer Alert 5 menyebut bahwa pengumuman rencana akuisisi ini kemungkinan akan dilakukan saat gelaran Indo Defence and Expo 2025 pada 11–14 Juni di Jakarta.
Baca Juga:
Kemhan Tahan Keputusan Pembelian 12 Jet Rafale Tambahan, Ini Alasannya
Jika jadi direalisasikan, pembelian ini akan menjadi kali pertama Indonesia memasukkan jet tempur buatan China ke dalam armada garis depannya.
Langkah ini juga mencerminkan arah baru kebijakan pertahanan Indonesia yang kini semakin terbuka terhadap diversifikasi mitra, termasuk dari China dan Rusia.
Sumber yang dekat dengan proses negosiasi menyebutkan bahwa pembelian J-10C tidak semata soal harga, tapi juga soal efektivitas.
“Kami sedang mencari platform tempur yang tangguh, teruji, dan bisa memberikan efek gentar. J-10C menawarkan kombinasi itu,” ujar seorang pejabat militer.
Tak hanya dari China, ketertarikan lama Indonesia terhadap Su-35 Rusia pun kembali mengemuka.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, menegaskan bahwa kontrak pengadaan 11 unit Su-35 senilai US$1,14 miliar masih berlaku.
“Kontrak itu tidak pernah dibatalkan. Masih aktif. Kami akan melanjutkan negosiasi dalam waktu dekat,” ujarnya, mengutip Defence Security Asia.
Pada 2018 lalu, Indonesia telah menandatangani perjanjian pengadaan Su-35.
Namun pada 2020, kesepakatan ini dikabarkan terhenti karena tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang mengancam akan memberlakukan sanksi di bawah aturan CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act).
Sementara itu, Indonesia tetap melanjutkan kerja sama pertahanannya dengan mitra Barat. Pengiriman enam unit pertama jet tempur Dassault Rafale dari Prancis dijadwalkan pada Februari 2026, bagian dari kontrak senilai RM32 miliar untuk total 42 unit.
Namun sejumlah analis pertahanan mulai mempertanyakan efektivitas jet-jet tempur Barat menyusul klaim bahwa J-10C Pakistan berhasil menjatuhkan hingga enam pesawat Angkatan Udara India—tiga di antaranya adalah Rafale—dalam konflik di Kashmir menggunakan rudal jarak jauh PL-15.
Menteri Luar Negeri Pakistan, Ishaq Dar, secara terbuka menyatakan bahwa “lima jet India, termasuk tiga Rafale dan satu Mirage 2000, dijatuhkan oleh rudal PL-15E yang ditembakkan dari J-10C AU Pakistan.”
Klaim tersebut langsung dibantah oleh pemerintah India, namun cukup untuk mengguncang keyakinan regional terhadap dominasi teknologi udara Barat.
Di tengah ketegangan Indo-Pasifik, banyak negara kini mempertimbangkan ulang pilihan alutsista mereka.
Di pameran LIMA 2025 di Langkawi, Malaysia, versi ekspor J-10C, yakni J-10CE, menjadi sorotan utama di stan China.
Jet ini menarik minat luas dari delegasi dan analis internasional.
“J-10CE menunjukkan performa luar biasa dalam simulasi dan data tempur. Ini bukan lagi jet yang dipandang sebelah mata,” tulis Global Times.
CATIC, badan ekspor pertahanan China, kini gencar memasarkan J-10CE ke pasar Asia, termasuk ke Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh.
Mereka menyodorkan J-10CE sebagai solusi modern dan terjangkau tanpa komplikasi geopolitik ala Barat.
Analis militer dari China menyebut bahwa J-10C adalah bukti bahwa Beijing bukan lagi pemain kelas dua dalam industri pertahanan udara.
“Kami tidak hanya menyaingi Barat, tapi dalam beberapa aspek, kami sudah melampauinya,” ujar seorang analis senior PLAAF kepada media setempat.
Dengan lebih dari 220 unit J-10C aktif di armada Angkatan Udara China, jet ini telah membuktikan diri sebagai tulang punggung kekuatan tempur Tiongkok.
Versi terbarunya dipersenjatai dengan radar AESA canggih, sistem fly-by-wire digital, dan mesin WS-10B buatan dalam negeri.
Jet ini juga dilengkapi dengan rudal PL-15 jarak jauh yang diperkirakan memiliki jangkauan lebih dari 200 kilometer, senjata yang dipandang sebagai pesaing langsung AIM-120D buatan AS dan Meteor dari Eropa.
Dari sisi desain, J-10C mengusung bentuk aerodinamis dengan konfigurasi delta-canard untuk kelincahan tinggi.
Sistem persenjataannya meliputi rudal udara-ke-udara, rudal anti-kapal KD-88 dan YJ-91, serta bom berpemandu presisi.
Tidak ketinggalan, sistem perang elektroniknya juga mutakhir: radar warning receiver (RWR), jammer elektronik, suar, dan kemampuan pencarian inframerah (IRST) semuanya terpasang dalam satu paket.
Jika akhirnya bergabung dalam arsenal udara Indonesia, J-10C bisa menjadi pion penting dalam mengimbangi kekuatan udara regional—, erutama menghadapi dinamika di Laut China Selatan dan Indo-Pasifik yang kian memanas.
Keberhasilan China dalam mengekspor J-10CE ke Pakistan, dan kini mungkin ke Indonesia, mencerminkan ambisinya untuk menantang dominasi jet tempur buatan AS, Eropa, dan Rusia.
Bagi Jakarta, pilihan ini bukan hanya soal jet tempur, tapi soal arah masa depan kekuatan udara nasional.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]