WahanaNews.co, Jakarta - Sebelum jadi lambang Indonesia, Garuda lebih dulu dikenal dalam epos Ramayana. Apakah burung ini memang riil spesies tertentu?
Nama Garuda sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta. Ia merupakan kendaraan atau wahana Dewa Wisnu, dewa pemelihara alam semesta, dalam agama Hindu.
Baca Juga:
Irfan Setiaputra Pastikan Garuda Tetap Beroperasi Selama Angkutan Haji 1445H/2024M
Melansir CNN Indonesia, seperti dikutip dari laman Museum Nasional, Garuda seringkali dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor dan moncong burung elang, dengan tubuh, tangan, dan kaki bak manusia.
Garuda sendiri digunakan sebagai lambang kerajaan Airlangga pada abad ke-11 Masehi.
Sejarawan Rushdy Hoesein menyebut ide garuda menjadi lambang negara itu memang berasal dari cerita Airlangga atau Dewa Wisnu yang menaikinya sebagai kendaraan. Selain itu, banyak gambar garuda yang terdapat di candi-candi di Indonesia.
Baca Juga:
Garuda Indonesia Group Hadirkan Promo Diskon Tiket hingga 75% Bertajuk ‘Lebaran ke Jakarta’
"Awal mula dari cerita rakyat, tapi garuda sendiri kan bukan binatang hidup, enggak pernah ada, seperti mitos atau mitologi, karena itulah kita enggak pernah mengenal dalam kehidupan sebenarnya," ucap dia, kepada CNN Indonesia, Senin (28/5/2017).
Desain awalnya berasal dari Sultan Hamid II, yakni Garuda yang berkepala gundul tanpa jambul dan pita. Presiden pertama RI Sukarno menyarankan penambahan jambul dan cengkeram pita. Usai mendapat revisi di sana-sini, Garuda pun resmi jadi lambang negara.
'Saudara kembar'
Meski merupakan makhluk mitologis, burung Garuda kerap dianggap diidentikkan dengan Elang Jawa (Nisaetus bartelsi Stresemann) karena kesamaan rupa, termasuk jambulnya.
Spesies burung endemik di Pulau Jawa biasanya punya jambul dengan 2 sampai 4 bulu yang panjangnya mencapai hingga 12 sentimeter. Uniknya, jambul elang ini berwarna hitam dengan ujung berwarna putih.
"Konon Garuda [Pancasila] diambil idenya dari Elang Jawa karena ada jambulnya," menurut keterangan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGPP), 2019.
Elang Jawa berstatus hewan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Menurut daftar merah satwa terancam punah (IUCN Redlist), Elang Jawa dikategorikan ke dalam satwa terancam punah/genting.
Lantaran identik dengan Garuda, Elang Jawa juga ditetapkan pemerintah sebagai satwa nasional dengan sebutan Satwa Langka berdasarkan Kepres No. 4/1993.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di situsnya, menyebut Elang Jawa berada di puncak rantai makanan (top predator) sehingga keberadaannya dapat menjadi indikator kualitas lingkungan yang baik.
Pada 2020, petugas Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) menemukan seekor Elang Jawa. Temuan ini menambah populasi Elang Jawa di taman nasional tersebut menjadi 30, dari sebelumnya 29 ekor.
Dikutip dari situs Pemerintah Provinsi Jawa Barat, saat ini populasi Elang Jawa ada sekitar 700 ekor, dan sekitar 300 pasang.
[Redaktur: Alpredo Gultom]