WahanaNews.co, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengklaim birokrasi untuk peneliti di lembaganya sudah tidak rumit berkat pemangkasan birokrasi.
"Itu kan karena stigma zaman dulu. Tapi kan sekarang dia sudah enggak perlu birokrasi begitu. Kita sudah melakukan pemangkasan birokrasi. Jadi pemangkasan birokrasi di kita itu sangat ekstrem, sehingga mirip kayak di luar [negeri]," ujar dia, kepada wartawan di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2023) melansir CNNIndonesia.
Baca Juga:
Pemkot Semarang dan BRIN Sukses Budidayakan Varietas Bawang Merah Lokananta Maserati
"Asal dia bisa bikin proposal bagus, semua juga online," imbuhnya.
Sebelumnya, periset kecerdasan buatan (AI) diaspora Indonesia di Jepang, Pitoyo Hartono, mengungkapkan alasan para peneliti enggan pulang ke Indonesia.
Secara pribadi, Pitoyo mengaku salah satu faktor dirinya belum berkarya di dalam negeri adalah masalah birokrasi. Ia khawatir jika kembali ke tanah air tidak mengenal birokrasi di dalam negeri, sehingga malah tidak bisa berkontribusi.
Baca Juga:
Fenomena Langka: Badai Matahari Dahsyat Hantam Bumi, Indonesia Waspada
Pitoyo menambahkan pemerintah Jepang memiliki visi yang sangat jelas untuk iklim penelitian. Hal tersebut menurutnya memudahkan peneliti untuk mengambil langkah dalam menentukan langkah riset.
Pria yang menjadi peneliti di Jepang selama 35 tahun ini mengaku berkarir sebagai profesor departemen teknik elektro dan elektronika Chukyo University, Jepang bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebetulan.
"Saya enggak tahu, apa yang terjadi pada saya hanya kebetulan. Saya meneliti di situ dan kebetulan ada posisi di situ dan seterusnya," katanya.
BRIN sendiri saat ini menyediakan 500 posisi aparatur sipil negara (ASN) dengan kualifikasi S3. Hal ini diharapkan bisa menjadi magnet untuk para peneliti tanah air yang berada di luar negeri.
"Di BRIN atas dukungan KemenpanRB, kami setiap tahun, dan tahun ini juga insyaallah membuka 500 posisi dengan kualifikasi S3," tutur Handoko.
"Ini bukan sekadar posisi untuk ASN, baik PPPK maupun CPNS. Ini adalah komitmen pemerintah untuk menunjukkan political will bahwa negara ini tidak hanya pandai ngirim anak muda, tapi juga menyediakan tempat untuk anak-anak muda untuk berkarir, berkarya sesuai bidang dan passionnya," tambahnya.
Meski dirasa belum maksimal, lowongan ini setidaknya hadir sebagai pilihan untuk para peneliti di luar negeri, hal yang sebelumnya tidak ada.
"Minimal sekarang diaspora punya pilihan bahwa kalau saya balik ke Indonesia ada tempat yang bisa menerima di mana saya bisa bekerja sesuai passion dan kapasitas saya," terangnya.
Berdasarkan riset perusahaan perekrutan profesional Robert Walters yang dirilis 1 September, tiga dari lima (60 persen) diaspora Indonesia menyatakan berencana untuk kembali ke Tanah Air dalam 5 tahun ke depan.
Temuan ini menunjukkan kenaikan dari data sebelumnya di 2021, yang mencatat hanya 46 persen responden yang mempertimbangkan untuk kembali ke Indonesia.
Kenaikan minat diaspora Indonesia untuk kembali ke Tanah Air dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Yakni, keinginan untuk mengurus orang tua dan tinggal lebih dekat dengan kerabat/pasangan (68 persen); hubungan emosi, sosial, dan kultural yang mendalam dengan Indonesia (36 persen), peluang pekerjaan yang menarik (29 persen), ingin memberikan sumbangsih pada negara (25 persen).
Selain itu, ada keinginan untuk menghabiskan masa pensiun di Indonesia (20 persen).
Survei yang sama juga mengungkap masih ada 35 persen diaspora Indonesia menyatakan enggan untuk kembali ke Indonesia.
Lima alasan utama yang menghalangi keinginan untuk pulang ini diantaranya; adanya perbedaan standar besaran kompensasi dan manfaat yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asing dibandingkan dengan perusahaan di Indonesia (68 persen);
Kualitas hidup di Indonesia dari segi fasilitas publik, faktor keamanan, serta fasilitas masyarakat yang dinilai lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di negara asing (45 persen);
Selain itu, situasi sosial di Indonesia juga dinilai kurang menguntungkan, dilihat dari segi tingkat keamanan publik, stabilitas politik, serta isu rasial (39 persen).
Beberapa faktor lain yang berpengaruh adalah kurangnya peluang pekerjaan untuk beberapa keahlian, adanya perbedaan budaya dan sistem bekerja (36 persen), serta keluarga yang telah beradaptasi dengan kehidupan di negara asing (24 persen).
[Redaktur: Alpredo Gulom]