WahanaNews.co | Letusan Gunung Tonga telah dimulai sejak Desember 2021, dan puncaknya meledak dahsyat pada 15 Januari 2022 pukul 17.15 waktu setempat.
Ledakan ini menghasilkan awan abu yang sangat besar, gempa bumi, dan tsunami yang mencapai garis pantai Peru yang jauh di sisi lain Pasifik.
Baca Juga:
Gerakan Pungut Sampah (GPS) Dilakukan Satgas Preventif Ops Damai Cartenz di Intan Jaya
Peristiwa ini pun menyedot perhatian para ilmuwan, untuk melakukan penelitian termasuk mencari efek letusan Gunung Tonga di luar angkasa.
Diberitakan Science Alert, kolom letusan mencapai stratosfer Bumi, lapisan atmosfer kedua dari permukaan tanah.
Suara ledakan terdengar ribuan kilometer jauhnya di Wilayah Yukon, Kanada. Meskipun di bawah ambang batas pedengaran manusia, gelombang tekanan atau suara terdeteksi oleh barometer di Inggris.
Baca Juga:
3 Langkah Ini Ampuh Melacak HP yang Hilang
Letusan juga tampaknya telah menghasilkan serangkaian gelombang gravitasi atmosfer, yang terdeteksi oleh satelit NASA, memancar keluar dari gunung berapi dalam lingkaran konsentris.
Para ilmuwan melihat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh gelombang-gelombang tersebut di luar angkasa.
Penelitian bertujuan untuk lebih memahami tingkat teratas atmosfer, jauh di atas tempat Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) mengorbit, dan khususnya sejauh mana perubahan di dalamnya didorong oleh peristiwa di Bumi.
Hal ini juga dapat membantu pemahaman yang lebih terkait teknologi seperti GPS dipengaruhi oleh letusan gunung berapi.
Dikarenakan sebagian besar atmosfer transparan bagi mata manusia, sehingga jarang dianggap sebagai struktur yang kompleks dan dinamis dengan banyak lapisan berbeda.
Sulur atas atmosfer memanjang jauh di atas garis Karman, sejauh 100 km atau 62 mil di atas permukaan laut menjadi titik tepat dimulainya ruang angkasa.
Lapisan atmosfer tersebut penuh dengan gelombang yang merambat ke segala arah, tidak seperti gelombang di permukaan laut.
Gelombang gravitasi atmosfer seperti itu dapat dihasilkan oleh sejumlah fenomena, termasuk badai geomagnetik yang disebabkan ledakan di matahari, gempa bumi, gunung berapi, badai petir, bahkan matahari terbit.
Ionosfer
Tidak hanya merambat secara horizontal, gelombang gravitasi atmosfer juga merambat ke atas ke beberapa bagian paling tinggi dari atmosfer, yaitu ionosfer.
Ionosfer merupakan wilayah atmosfer Bumi yang terbentang dari sekitar 65 km hingga lebih dari 1.000 km (ISS mengorbit sekitar 400km).
Pada ketinggian ini, sebagian gas atmosfer terionisasi membentuk plasma, yang berarti molekulnya terpecah menjadi partikel bermuatan, dengan atom positif disebut ion sedangkan atom negatif disebut elektron.
Ionisasi di atmosfer terjadi karena paparan radiasi ultraviolet dari matahari, partikel berenergi tinggi dari luang angkasa, bahkan meteor yang terbakar.
Mengingat partikel bermuatan berlawanan memberikan gaya tarik menarik satu sama lain, ion dan elektron juga cenderung bergabung kembali menghasilkan molekul netral. Sehingga, terdapat fluktuasi yang kompleks dan terus menerus di ionosfer antara produksi plasma dan hilangnya plasma karena rekombinasi.
Sebagian besar proses ini tidak terdeteksi dalam cahaya tampak, tapi dapat memengaruhi panjang gelombang cahaya radio yang lebih panjang.
Plasma di ionosfer dapat memantulkan gelombang radio pada frekuensi tertentu, menyebarkannya ke frekuensi lain bahkan memblokirnya sama sekali.
Sifat-sifat ini membuat ionosfer berguna untuk beberapa teknologi modern termasuk komunikasi radio frekuensi tinggi, tetapi ionosfer terpengaruh pada lingkungan luar angkasa atau peristiwa-peristiwa di Bumi.
Gangguan luar angkasa
Saat gelombang gravitasi atmosfer yang dihasilkan letusan gunung berapi atau sumber apa pun mencapai atmosfer, ini dapat memicu gangguan perjalanan ionosfer.
Hal tersebut merupakan gelombang kompresi yang dapat meningkatkan fluktuasi kepadatan plasma secara substansial dalam waktu singkat dan dapat melakukan perjalanan sejauh ribuan mil di seluruh dunia.
Efek tersebut dapat mengganggu teknologi modern seperti keakuratan satelit sistem penentuan lokasi global (GPS).
Di masa lalu, pada tahun 2013 dan 2015, letusan gunung berapi telah dikaitkan dengan perubahan terukur di ionosfer seperti yang terdeteksi oleh penerima GPS.
Untuk mempelajari gangguan ini lebih mendetail dibandingkan pengaruhnya terhadap GPS, peneliti menggunakan data dari fasilitas Low Frequency Array (Lofar). Lofar terdiri dari lusinan antena radio yang tersebar di seluruh Eropa, dirancang untuk mengamati sumber radio alami di alam semesta.
Penampakan sumber radio di ruang angkasa jika dilihat melalui ionosfer, mirip dengan pandangan objek melalui segelas air dapat menjadi terdistorsi saat diaduk atau dikocok.
Dengan analisis yang cermat, distorsi ini dapat digunakan untuk memahami hal yang terjadi di ionosfer. Perjalanan gangguan ionosfer dapat meningkatkan distorsi tersebut, terutama pada panjang gelombang radio yang digunakan dengan Lofar.
Selama beberapa minggu mendatang, para ahli akan melihat dengan cermat data Lofar dan menyelidiki tentang pola berbeda yang terlihat dapat dikaitkan dengan letusan Tonga.
Pada akhirnya, penelitian dapat membantu memahami gunung berapi di Bumi bisa memengaruhi ruang dan teknologi.
Dikarenakan ionosfer merupakan antarmuka atmosfer antara Bumi dan ruang angkasa, ionosfer bahkan dapat menjelaskan sejauh mana gangguan didorong oleh peristiwa cuaca terestrial atau luar angkasa. [qnt]