WahanaNews.co, Jakarta - Bulan tetap punya atmosfer meski kondisinya rapuh yang merupakan hasil dari tumbukan meteorit dan angin surya.
Pihak yang paling awal tahu soal ini adalah para astronaut lembaga antariksa AS (NASA) yang menjadi orang-orang yang pertama yang mendarat di permukaan Bulan pada 1960-an dan 1970-.
Baca Juga:
2 Astronaut Terdampar di ISS, NASA Pastikan Mereka Baru Pulang Tahun Depan
Mereka menemukan karakteristik Bulan yang sebelumnya tidak diketahui; memiliki atmosfer, meski cukup rapuh. Sampel tanah yang mereka ambil dari sana mengungkap proses fisik utama yang mendorong atmosfer ini.
Tim menganalisis bentuk dua elemen, yakni kalium dan rubidium, yang ada dalam sembilan sampel tanah kecil dari lima misi Apollo.
Para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa atmosfer Bulan diciptakan dan dipertahankan terutama oleh efek meteorit, besar dan kecil, yang menghantam permukaan Bulan.
Baca Juga:
NASA Berhasil Rekam Citra 'Lukisan' van Gogh di Langit Planet Jupiter
"Dampak meteorit menghasilkan suhu tinggi berkisar antara 2.000 hingga 6.000 derajat Celsius (3.600-10.800 derajat Fahrenheit)," kata ilmuwan planet dan ahli kosmokimia dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicole Nie, dikutip dari Reuters, melansir CNN Indonesia, Minggu (4/8/2024).
Ia merupakan penulis utama studi soal atmosfer Bulan ini yang dipublikasikan pada Jumat (2/8) di jurnal Science Advances.
"Suhu ekstrem ini melelehkan dan menguapkan batuan di permukaan Bulan, mirip dengan bagaimana panas menguapkan air, melepaskan atom ke atmosfer," lanjutnya.
Atmosfer Bulan sangat tipis dan secara teknis diklasifikasikan sebagai eksosfer, yang berarti atom tidak saling bertabrakan karena jumlahnya sangat sedikit, beda banget dengan atmosfer Bumi yang tebal dan stabil.
"Misi Apollo membawa instrumen ke permukaan Bulan yang mendeteksi atom di udara," ungkap Nie.
Komposisi atmosfer Bulan
Pada 2013, NASA mengirim wahana antariksa robotik Lunar Atmosphere and Dust Environment Explorer (LADEE) untuk mengorbit Bulan demi mempelajari atmosfer dan lingkungan permukaannya.
Wahana ini mengidentifikasi dua proses, yang dikenal sebagai pelapukan ruang angkasa, yakni dampak meteorit dan fenomena yang disebut semburan angin surya.
"Angin surya membawa partikel bermuatan berenergi tinggi, terutama proton, melalui ruang angkasa. Ketika partikel-partikel ini menghantam Bulan, mereka mentransfer energinya ke atom-atom permukaan Bulan, menyebabkannya terlempar dari permukaan," kata Nie.
Angin surya ini mengacu pada aliran konstan partikel bermuatan dari Matahari yang menembus Tata Surya.
LADEE tidak menentukan kontribusi relatif dari kedua proses ini terhadap atmosfer Bulan. Studi baru tersebut menunjukkan bahwa tumbukan menyumbang lebih dari 70 persen komposisi atmosfernya, sementara semburan angin surya menyumbang kurang dari 30 persen.
Bulan sendiri terus-menerus dibombardir oleh meteorit. Di awal sejarahnya, meteorit besar membuat kawah menganga yang terlihat di permukaan Bulan, sementara belakangan meteorit yang lebih kecil, termasuk mikrometeorit seukuran debu.
Beberapa atom yang terangkat oleh tumbukan ini terbang ke luar angkasa. Sisanya tetap melayang di atas permukaan dalam atmosfer yang secara teratur diisi ulang saat lebih banyak meteorit mendarat.
Atmosfer Bulan terutama mengandung argon, helium, dan neon, bersama dengan kalium dan rubidium dan mungkin unsur-unsur lain pada tingkat yang lebih rendah.
Lapisan ini membentang dari permukaan Bulan hingga ketinggian sekitar 62 mil (100 km). Atmosfer Bumi membentang hingga sekitar 6.200 mil (10.000 km).
Tanah warisan Neil Armstrong
Alih-alih menyelidiki atom-atom sebenarnya di atmosfer Bulan, para peneliti menggunakan tanah Bulan, yang disebut regolith, sebagai pengganti.
Mereka menggunakan instrumen yang disebut spektrometer massa untuk memeriksa rasio isotop kalium dan rubidium yang berbeda di dalam tanah.
Isotop adalah atom-atom dari unsur yang sama dengan massa yang sedikit berbeda karena jumlah partikel subatomik yang disebut neutron berbeda.
"Hal ini dimungkinkan karena tanah permukaan Bulan berinteraksi dengan eksosfer sejak terbentuknya bulan, dan proses yang berbeda meninggalkan jejak yang berbeda pada komposisi isotop tanah bulan," kata ilmuwan planet dan rekan penulis studi Timo Hopp dari Institut Max Planck untuk Penelitian Tata Surya di Jerman.
Setelah puluhan tahun mempelajari bulan, para ilmuwan masih mempelajari beberapa proses dasarnya.
"Banyak pertanyaan penting tentang atmosfer bulan yang masih belum terjawab. Kini, kami mampu menjawab beberapa pertanyaan ini berkat kemajuan teknologi," kata Nie.
"Ketika sampel Apollo dibawa dari Bulan pada 1970-an, komposisi isotop kalium dan rubidium di tanah Bulan diukur menggunakan spektrometer massa. Akan tetapi, pada saat itu, tidak ada perbedaan isotop yang diamati. Spektrometer massa masa kini menawarkan presisi yang jauh lebih tinggi," urai dia.
[Redaktur: Alpredo Gultom]