Sebab, jurnal internasional cenderung menerbitkan riset hukum yang sesuai 'selera' hukum barat yaitu hukum liberal. Padahal, Indonesia memiliki kiblat hukum sendiri yaitu hukum Pancasila.
"Saya juga merasakan begini, teman-teman di bidang hukum itu kalau menulis ke jurnal internasional itu banyak mentoknya, banyak yang kemudian ditolak. Karena apa? Hukum itu kan harus mengandung atau berisi kosmologi hukum Indonesia. Sehingga tulisan-tulisan doktor, tulisan-tulisan makalah yang akan diekspose ke jurnal internasional itu harus berkosmologi Indonesia, mengembangkan hukum Pancasila,” jelas Arief.
Baca Juga:
Profesor Ini Ingatkan Stres Bisa Sebabkan Sakit Punggung, Simak Penjelasannya
“Tapi dengan mengembangkan hukum Pancasila, jurnal internasional itu enggak mau terima karena dia jurnal dari luar negeri, inginnya sesuai dengan kosmologinya, liberalisme. Itu susah diterima," Lanjut Arief.
Arief mencontohkan peneliti MK lulusan Australia yang mendapatkan doktor Australia. Berkali-kali menulis bidang hukum tentang hukum Pancasila, tapi berkali-kali ditolak dalam jurnal internasional yang terindeks Scopus. Karena jurnal itu yang punya authority untuk menerima atau tidak menerima.
"Nah, tulisannya itu tidak sesuai dengan kosmologi hukum mereka, dia menulis bagaimana Indonesia. Nah, apakah tidak ada pandangan supaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membina jurnal-jurnal Indonesia? Sehingga bermutu yang bisa menjadi media untuk orang Indonesia. Mengembangkan ilmu berdasarkan kosmologi Indonesia," papar Arief.
Baca Juga:
Nadim Makarim Cabut Gelar Profesor Terhadap Taruna Ikrar
Arief juga menyoroti soal syarat menulis di jurnal internasional bagi dosen Indonesia agar bisa naik pangkat atau mendapat gelar profesor. Akhirnya muncul jurnal internasional abal-abal.
"Nah, di lapangan karena banyak menjadi pasar jurnal internasional karena semua harus terekspos di jurnal internasional, padahal banyak jurnal-jurnal internasional yang kemudian abal-abal yang masuk di pasar Indonesia. Nah, ini bagaimana pengawasan mengenai jurnal internasional yang dilakukan oleh pihak pendidikan tinggi?" kata Arif menegaskan.
Atas berbagai pertanyaan di atas, Chatarina diberikan waktu untuk menjawab secara tertulis. Ketua MK Anwar Usman menutup sidang dan akan melanjutkan sidang pada 28 Setember 2021.