WahanaNews.co | Hakim Konstitusi, Saldi Isra, menyoroti betapa mudahnya proses para pejabat mendapatkan gelar profesor. Sedangkan, menurutnya banyak sekali dosen yang meniti karier setengah mati malah susah mendapatkan gelar puncak tertinggi di dunia akademik tersebut.
"Menyambung apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof Arief, Yang Mulia Prof Enny, ini sekarang kan dalam praktik begini. Profesor kehormatan dengan profesor yang dari kampus karena karier itu dalam praktik seperti enggak ada bedanya," kata Saldi Isra.
Baca Juga:
Profesor Ini Ingatkan Stres Bisa Sebabkan Sakit Punggung, Simak Penjelasannya
Hal itu disampaikan dalam sidang di MK dan tertuang dalam risalah sidang yang dilansir website MK, Kamis (9/9/2021). Sidang ini juga dihadiri oleh Kemendikbud yang diwakili oleh Irjen Kemendikbud, Chatarina Girsang. Saldi merupakan Guru Besar Universitas Andalas, Padang. Sedangkan Arief adalah Guru Besar Undip Semarang dan Enny adalah Guru Besar UGM, Yogyakarta.
"Saya kalau pulang ke Padang masih main-main ke kampus, Prof Arief juga begitu. Itu salah satu yang dikeluhkan oleh teman- teman itu, kok kami, kita yang di kampus ini sulit sekali jadi guru besar, ya. Sementara di tempat lain profesor kehormatan, profesor kehormatan itu seperti apa saja, sekilat sekelebat pedang saja begitu, tiba-tiba sudah jadi profesor kehormatan," ujar Saldi.
"Nah, tentu ini sesuatu yang harus dipikirkan oleh kementerian dan concern saya sebetulnya apa yang membedakan profesor kehormatan itu dengan profesor biasa? Karena semuanya saya lihat itu memakai gelar profesor, enggak ada bedanya. Prof Arief pakai profesor karena dulu dari dosen. Ada orang yang karena profesor kehormatan, tapi enggak ada bedanya. Kalau doktor kehormatan kan dipakai, doktor hon begitu. Ini perlu enggak?," kata Saldi menegaskan.
Baca Juga:
Nadim Makarim Cabut Gelar Profesor Terhadap Taruna Ikrar
Saldi juga menanyakan soal standar penilaian kelayakan menjadi profesor. Sebab, ada kandidat yang lolos di tingkat universitas, tapi dimentahkan oleh Dikti dengan penilaian sebaliknya. Kemendikbud diminta membuat sistem yang tidak mempersulit kandidat profesor karier.
"Jadi, dia naik ke Jakarta itu, itu hanya formalitas untuk kemudian diterbitkan ketetapan begitu, keputusan untuk yang bersangkutan bisa diangkat sebagai guru besar. Jadi, agar apa? Agar setiap level itu tidak melahirkan, maaf, 'raja- raja kecil' lagi. Ada punya otoritas bisa menghitam, memutihkan begitu. Nah, kalau di internal perguruan tinggi biarkan sajalah," kata Saldi kembali.
Dalam sidang yang sama, Arief Hidayat meminta Kemendikbud melobi jurnal internasional untuk lebih terbuka terhadap hukum Indonesia, yaitu hukum Pancasila.