WAHANANEWS.CO, Jakarta - Konservasi orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) kini berada di titik genting, menghadapi ancaman besar baik dari ulah manusia maupun perubahan alam yang kian tak terduga.
Direktur Konservasi dan Genetik Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan, Nunu Anugrah, mengungkapkan bahwa ancaman utama datang dari fragmentasi dan penyempitan habitat, perburuan, perdagangan ilegal, isolasi populasi, risiko genetik penyakit, rendahnya kesadaran pendidikan, hingga konflik dengan manusia.
Baca Juga:
PT Agincourt Resources Salurkan Beasiswa Rp5,9 Miliar Bagi 569 Siswa Berprestasi
Secara hukum, orangutan tapanuli dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, tetapi pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan serius.
"Berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli, seperti restorasi habitat, perlindungan serta pengamanan populasi dan habitat orangutan, rehabilitasi orangutan karena jumlah populasinya yang rendah," ujar Nunu dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2025).
Ia menambahkan, perlindungan intensif pada kantong-kantong habitat, pengawasan hukum, serta edukasi publik terus dijalankan sebagai strategi utama menjaga keberlangsungan satwa ini.
Baca Juga:
Agincourt Resources Salurkan Rp2,76 Miliar untuk Program PPM di Tapanuli Selatan
Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Belantara Learning Series bertajuk Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli yang digelar oleh Belantara Foundation, PT Agincourt Resources, Program Studi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, dan LPPM Universitas Pakuan.
Sebelumnya, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada 2023 telah memublikasikan panduan global tentang konflik dan koeksistensi manusia dengan satwa liar, yang memberikan kerangka langkah komprehensif untuk mengelola interaksi keduanya.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Wanda Kuswanda, menjelaskan bahwa orangutan tapanuli baru dipisahkan dari spesies orangutan sumatera (Pongo abelii) pada 2017 dan kini berstatus sangat terancam punah berdasarkan Daftar Merah IUCN.
"Prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orangutan tapanuli. Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak," jelas Wanda.
Menurutnya, habitat orangutan tapanuli terbatas hanya di Hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan luas lanskap 240–280 ribu hektare. Dari luasan itu, satwa ini hanya mendiami sekitar 138.435 hektare yang terpecah menjadi tiga blok habitat.
Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan 2019-2029 memperkirakan populasinya hanya 577-760 individu, menjadikannya salah satu kera besar paling langka di dunia.
Wanda juga menyoroti kecenderungan orangutan tapanuli yang menyukai tanaman budi daya masyarakat sehingga sering memicu konflik dengan warga sekitar.
Ia menegaskan, terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kesadaran dan komitmen manusia yang tinggal berdampingan dengan satwa ini.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]