Frekuensi petir yang ekstrem bisa mengganggu ritme hidup berbagai hewan, mulai dari burung air, kelelawar, hingga katak rawa yang sensitif terhadap cahaya dan gelombang elektromagnetik.
Bahkan kebakaran rawa pun bisa terjadi karena sambaran petir yang mengenai vegetasi kering, terutama di musim kemarau panjang.
Baca Juga:
Polisi dan Tim PLN Indonesia Power Lakukan Investigasi Awal Kebakaran PLTU Labuhan Angin
Beberapa peneliti melihat Petir Catatumbo sebagai indikator bio-atmosfer.
“Kalau frekuensinya berubah drastis dalam beberapa dekade, bisa jadi itu tanda ada gangguan besar di ekosistem, entah dari perubahan iklim, deforestasi, atau eksploitasi rawa,” ujar Mendoza.
Mungkinkah “Petir Abadi” Ini Padam?
Baca Juga:
Petir Jadi Pemicu Kebakaran di PLTU Labuhan Angin
Meski disebut “abadi”, ternyata Petir Catatumbo sempat menghilang pada 2010 selama hampir dua bulan akibat kekeringan parah yang dipicu El Niño.
Saat itu, udara terlalu kering dan sirkulasi angin terganggu, membuat badai petir gagal terbentuk.
Ini menjadi peringatan keras: jika lahan basah mengering, jika metana berkurang karena perubahan penggunaan lahan, atau jika suhu global terus meningkat, maka fenomena ini bisa lenyap.