PUBLIK kembali dikejutkan oleh pengakuan mahasiswi Universitas Riau atas peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya akhir Oktober lalu.
Kisah bermula ketika mahasiswa sedang melakukan bimbingan skripsi di kampus.
Baca Juga:
Tersangka Razman Nasution Jalani Tes Kesehatan & Sidik Jari di Bareskrim
Namun, pembimbing skripsi diduga melakukan upaya pelecehan terhadap mahasiswi bimbingannya.
Kejadian itu viral saat mahasiswi yang menjadi korban membuat pengakuan dan diviralkan di media sosial.
Aparat hukum dan polisi mengambil tindakan dan mengumpulkan barang bukti maupun kesaksian.
Baca Juga:
Jaksa Penuntut Umum Kejari Bireuen Tangani Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Setelah proses hukum berjalan, polisi telah menemukan 18 bukti hingga akhirnya pelaku kini berstatus sebagai tersangka sejak 22 November 2021.
Peristiwa ini ternyata mendorong korban lain untuk berani bicara, seperti kasus di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur.
Mahasiswa tersebut bahkan tidak berani untuk menyebut institusi tempatnya belajar karena khawatir akan konsekuensi hukum yang menimpa dirinya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah karena sangat khawatir akan bertemu dengan dosen itu kembali.
Bahkan, kasus kekerasan seksual juga terjadi di Universitas Indonesia yang melibatkan seorang Guru Besar Ilmu Politik dan pernah duduk di parlemen.
Disinyalir selama 30 tahun guru besar tersebut telah melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswa bimbingannya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi telah melakukan riset tahun 2019 mendapati bahwa kekerasan seksual di kampus berada pada urutan ketiga terkait lokasi terjadinya kekerasan seksual sebesar 15 persen.
Dua peringkat di atasnya kekerasan seksual terjadi di jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).
Angka Kekerasan Seksual
Survei Ditjen Diktiristek 2020 menemukan bahwa 77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Survei tersebut juga mencatat, 63 persen dosen tidak pernah melaporkan kasus yang mereka ketahui pada pihak kampus.
Artinya, dari sisi dosen pun masih enggan melaporkan kejadian yang mereka ketahui di lingkungan kerjanya di kampus yang melibatkan rekan dosen sebagai sesama pengajar.
Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 ada 53 persen kasus kekerasan seksual dari 2.389 laporan kasus kekerasan yang masuk di Komnas Perempuan.
Sepanjang tahun 2015-2020 diketahui ada 27 persen kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari seluruh pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
BEM Universitas Negeri Semarang menghimpun wawancara terhadap 133 responden di lingkungan kampus.
Dari hasil wawancara ditemukan 59 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan seksual.
Jika dirinci lebih lanjut, dari porsi tersebut 90 persen berstatus mahasiswa dan sisanya karyawan.
Kekerasan seksual mayoritas menimpa kaum perempuan di kampus.
Lebih tragis lagi, mayoritas korban tidak ada yang melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami. (Kompas, 29/10/2021)
Berdasarkan data Direktorat Advokasi HopeHelps Universitas Indonesia, pada periode Maret 2019 hingga Mei 2020, ada 39 laporan kasus kekerasan seksual dalam lingkup kampus UI.
Sebanyak 22 kasus pelecehan seksual secara fisik, 3 kasus pelecehan seksual secara verbal, dan 2 kasus seksual secara virtual, 6 kasus perkosaan, 2 kasus percobaan perkosaan, dan 1 kasus tindakan perbudakan seksual serta 3 kasus intimidasi seksual.
Jumlah pengaduan kekerasan seksual yang tampak kecil karena korban enggan melapor selain perguruan tinggi tidak punya aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait pelecehan seksual.
Selama ini kasus kekerasan seksual masih disamakan dengan pelanggaran etik lainnya, padahal kekerasan seksual bersifat khas dan mengalami kerentanan berlapis.
Relasi Kuasa
Langgengnya kekerasan keksual di perguruan tinggi karena relasi kuasa yang sangat tidak seimbang, pelaku umumnya adalah dosen, pengajar, pembimbing skripsi, tesis, atau disertasi.
Dalam hal ini pelaku memiliki kekuasaan sangat besar karena dapat menentukan korban dapat lulus atau tidak serta penilaian skripsi, tesis atau disertasi.
Karena itu, korban tidak mengganti dosen pembimbing meskipun mendapat pelecehan seksual karena khawatir tidak lulus jika mengganti pembimbing.
Di sisi lain jika korban melapor, belum tentu laporan ditindaklanjuti karena jika kasus tersebut tersebar, akan menjatuhkan kehormatan perguruan tinggi tersebut.
Selain itu, masih kuatnya budaya misoginis, seksis, dan tidak ramah pada perempuan yang menyebabkan korban sulit mendapatkan keadilan.
Salah satunya adalah hak korban untuk mendapatkan rasa aman dan pemulihan akibat trauma tersebut sangat terabaikan.
Hal ini membuat korban enggan menceritakan peristiwa karena isu itu sangat sensitif dan penuh stigma, terkadang lingkungan justru menuduh korbanlah yang memulai memancing situasi keruh.
Melaporkan kejadian kepada polisi pun tidak mudah karena dalam proses peradilan selalu dimintai keterangan tentang bukti-bukti, sedangkan korban kekerasan seksual terkadang tidak mampu menceritakan kejadian sesaat peristiwa terjadi.
Upaya Perlindungan
Untuk mencegah dan mengantisipasi serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual, Komnas Perempuan membuat Nota Kesepahaman Nomor 010/KNAKTP/MoU/VI/2021 pada 28 Juni 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan di Lingkungan Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal tersebut direspons sangat baik oleh Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim, maka keluarlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai upaya pemerintah untuk menjamin hak warga negara mendapatkan pendidikan tinggi yang aman dan nyaman.
Permendikbud ini menjadi perangkat bagi perguruan tinggi untuk merespons dengan cepat dan tepat kasus kekerasan seksual, karena perguruan tinggi wajib membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dipimpin oleh pimpinan perguruan tinggi.
Satuan tugas ini terdiri dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dan anggotanya berjumlah gasal minimal lima orang.
Selain itu Satuan Tugas harus menerima kasus kekerasan seksual dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam prosedur, yaitu penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, pemulihan, dan tindakan untuk mencegah terulang kembali.
Jika tidak terbukti terjadi kekerasan seksual, Satuan Tugas bertugas memulihkan nama baik terlapor.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, pimpinan perguruan tinggi wajib untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dilaksanakan oleh Satuan Tugas, kemudian hasilnya dilaporkan kepada Menteri.
Jika perguruan tinggi tidak bersedia membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, maka bisa saja akreditasi Kampus tersebut turun.
Optimisme akan pencegahan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual juga datang dari Kementerian Agama yang telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
SK Kemenag ini diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Agama.
Kasus kekerasan seksual di kampus telah lama menjadi isu krusial, di Universitas Indonesia muncul ”Gerakan Adili Sitok” ketika terjadi dugaan pelecehan seksual tahun 2013.
Saat itu terjadi kasus pelecehan seksual antara seorang dosen dan mahasiswinya di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB) UI.
Tuntutan untuk mengadili pelaku tidak menemukan titik terang, hingga di tahun 2017 dua mahasiswa Fakultas Hukum UI berinisiatif untuk membuat organisasi khusus untuk membuka layanan aduan kasus kekerasan seksual.
Maka dibentuklah HopeHelps UI yang berperan mengawal dan menangani kasus kekerasan seksual.
HopeHelps UI memberikan pendampingan psikologis dan hukum sesuai dengan permintaan korban serta membuat Buku Saku Standar Operasional Penanganan (SOP) Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus.
Gerakan HopeHelps ini kemudian membangun jaringan di beberapa kampus di Indonesia, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Airlangga Surabaya, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. (Kendar Umi Kulsum)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Puncak Gunung Es Kekerasan Seksual di Kampus”. Klik untuk baca: Puncak Gunung Es Kekerasan Seksual di Kampus - Kompas.id.