WahanaNews.co, Demak - Pembicaraan mengenai kemungkinan munculnya Selat Muria jadi perbincangan yang hangat di platform media sosial setelah wilayah Kabupaten Demak, Jawa Tengah, mengalami banjir belakangan ini.
Menurut Salahuddin Hisein, seorang pakar Geologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), kemungkinan munculnya Selat Muria tidaklah terjadi hanya karena adanya banjir yang melanda Demak dan sekitarnya.
Baca Juga:
Kemensos Lakukan Pendampingan Menyeluruh Kasus Rudapaksa di Demak Jateng
"Dari perspektif geologis, tidak ada alasan untuk khawatir bahwa Demak dan wilayah sekitarnya akan kembali menjadi bagian dari laut karena banjir berulang ini membawa material sedimen yang kemudian membentuk dataran rendah," ujarnya dalam pernyataan tertulis pada hari Senin (25/03/2024).
Sebagai seorang dosen di bidang Teknik Geologi di Fakultas Teknik UGM, ia menjelaskan bahwa wilayah Demak, Juwana, dan Pati dulunya merupakan bagian dari Selat Muria.
Namun, pada periode abad ke-10 hingga ke-15, wilayah tersebut mengalami transformasi menjadi dataran rendah.
Baca Juga:
Pemkab Demak Siap Tanam Padi Serempak Oktober 2024, Bergantung Air Waduk
Wilayah Demak, Pati, dan Juwana merupakan dataran rendah hasil dari sedimentasi banjir yang berulang dari Sungai Tuntang, Sungai Serang, dan Sungai Juwana.
Dengan kata lain, Selat Muria menghilang seperti saat ini karena banjir di ketiga sungai tersebut.
"Terbentuknya daerah tersebut karena adanya sedimen yang terbawa saat banjir yang berulang," ujarnya.
Dia menyebut proses sedimentasi sungai pada umumnya berlangsung saat banjir. Hal ini mengakibatkan endapan sedimen tersebut mengumpul sebagai dataran limpasan banjir.
Salahuddin menyebut Selat Muria tidak akan muncul lagi lantaran proses geologi berupa erosi lajur perbukitan Kendeng dan lajur perbukitan Rembang yang melewati jejaring Sungai Tuntang, Sungai Serang, dan Sungai Juwana masih terus berlangsung hingga saat ini.
Bahkan sedimen yang dibawa juga cukup tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan pendangkalan di Selat Muria.
Terkait banjir, dia menyebut hal tersebut lumrah. Pasalnya, dataran rendah itu terbentuk karena luapan banjir.
"Wajar kalau banjir terjadi berulang. Ini bukan hal aneh karena dataran rendah tersebut terbentuk karena luapan banjir," ungkapnya, melansir Kompas.com, Selasa (26/3/2024).
Di sisi lain perubahan lingkungan seperti adanya permukiman berdampak secara geologis. Salah satunya berupa pemadatan lahan untuk pendirian bangunan maupun penggunaan air tanah yang membuat tanah menjadi kompak, padat, dan agak turun.
Kondisi tersebut menyebabkan daerah Demak, Pati, dan Juwana rentan banjir. Terlebih dengan meningkatnya bencana hidrometeorologis yang terjadi saat ini.
Salahuddin menambahkan hujan dengan intensitas tinggi dan terus menerus berpotensi meningkatkan debit air di wilayah hulu sungai. Dampaknya terjadi banjir ekstrem dan baru akan surut selama berhari-hari.
Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji ulang kapasitas tanggul untuk mengatasi banjir. Terutama disesuaikan dengan ketika terjadi potensi banjir ekstrim.
Dengan penyesuaian itu, diharapkan sungai-sungai mampu membawa lebih banyak lagi debit air hujan tanpa harus menyebabkan banjir.
Selain itu, perlu adanya upaya pengawasan dan perawatan tanggul secara berkala. Harapanya, dengan pengawasan dan perawatan tersebut dapat mencegah tanggul jebol di sejumlah titik.
"Upaya normalisasi sungai memang sudah dilakukan, tetapi kedepan perlu dilakukan redesain dengan menyesuaikan kondisi saat ini," pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]