Sebagian besar turbulensi tersebut cukup ringan, tetapi pada awan yang lebih besar - seperti awan badai cumulonimbus - pergerakan udara yang kacau dapat menyebabkan turbulensi sedang atau bahkan parah.
Selain karena cuaca dan geografis -seperti badai petir, pegunungan, dan munculnya awan tertentu- ada juga "clear air turbulence", yang dapat mengagetkan pilot dan terjadi tanpa peringatan.
Baca Juga:
Puluhan Penumpang Cedera Tulang Belakang akibat Turbulensi Ekstrem Singapore Airlines
Stuart Fox, direktur operasi penerbangan dan teknis di badan penerbangan global Iata, mengatakan prakiraan cuaca yang menunjukkan front cuaca yang datang atau aliran udara di atas pegunungan dapat menunjukkan kemungkinan lebih tinggi terjadinya turbulensi di udara.
"Tetapi Anda tidak bisa melihatnya. Kekuatan dan arah aliran udara dapat berubah dengan cepat, dan prakiraan cuaca hanya dapat menunjukkan kemungkinannya," kata Stuart, mengutip The Guardian.
Angin yang berguncang seperti itu dapat membuat pesawat keluar dari jalurnya, kehilangan ketinggian dengan cepat, atau terombang-ambing dengan keras.
Baca Juga:
Mulai 16 Oktober 2022, Scoot Akan Buka Rute Singapura-Lombok-Makassar
Makin parah akibat krisis iklim
Sebuah penelitian yang dilakukan para peneliti di Reading University menunjukkan turbulensi semakin parah akibat krisis iklim.
Penelitian tersebut mengungkap turbulensi parah meningkat 55 persen dari tahun 1979 hingga 2020, karena perubahan kecepatan angin di ketinggian.