WahanaNews.co, Jakarta - Tahun 2023 lalu, suhu global mencatatkan rekor panas baru.
Laporan tahunan tentang Keadaan Iklim yang diterbitkan oleh badan cuaca dan iklim PBB mengkonfirmasi data awal yang menunjukkan bahwa tahun 2023 merupakan tahun dengan suhu terpanas yang pernah tercatat.
Baca Juga:
Ilmuwan: Februari 2024 Tercatat Sebagai Bulan Terpanas
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa kejadian serupa bisa terulang pada tahun 2024.
PBB bahkan menegaskan bahwa suhu global tahun ini kemungkinan akan lebih tinggi lagi, menggarisbawahi potensi peningkatan suhu yang signifikan.
"Ada kemungkinan besar tahun 2024 akan kembali memecahkan rekor (suhu panas) tahun 2023)," kata Omar Baddour, kepala pemantauan iklim Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Baca Juga:
Suhu Jabodetabek 1 Oktober 2023 Diperkirakan Tembus 36 Derajat Celsius
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan laporan tersebut menunjukkan sebuah planet berada di ambang kehancuran.
"Bumi mengeluarkan seruan darurat. Polusi bahan bakar fosil menyebabkan kekacuan iklim makin parah," katanya, seperti dikutip dari Science Alert, Rabu (20/3/2024).
Gambaran tahun 2023
WMO mengatakan tahun 2023 suhu rata-rata di dekat permukaan adalah 1,45 derajat Celcius di atas suhu pra-industri.
Angka tersebut mendekati ambang batas kritis 1,5 derajat yang disepakati negara-negara dalam perjanjian iklim Paris tahun 2015.
Apa yang kita saksikan pada tahun 2023, terutama dengan memanasnya lautan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyusutnya gletser, dan hilangnya es laut di Antartika menimbulkan kekhawatiran khusus.
Salah satu temuan yang sangat mengkhawatirkan adalah gelombang panas laut rata-rata yang melanda hampir sepertiga lautan global setiap harinya di tahun 2023.
Dan pada akhir tahun 2023, lebih dari 90 persen lautan telah mengalami gelombang panas sepanjang tahun.
Gelombang panas laut yang lebih sering dan intens akan menimbulkan dampak negatif yang besar bagi ekosistem laut dan terumbu karang.
Sementara itu, gletser-gletser utama di seluruh dunia mengalami kehilangan es terbesar sejak pencatatan dimulai pada tahun 1950, yang didorong oleh pencairan es ekstrem di Amerika Utara bagian barat dan Eropa.
Selain itu, WMO juga mencatat rata-rata kenaikan permukaan air laut global selama dekade terakhir (2014-2023) lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan dekade pertama yang dicatat oleh data satelit.
Pergeseran iklim yang dramatis menimbulkan dampak besar di seluruh dunia, memicu kejadian cuaca ekstrem, banjir dan kekeringan, yang memicu pengungsian dan meningkatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan kerawanan pangan.
Namun WMO menyebut pula masih ada secercah harapan seiring dengan melonjaknya penggunaan energi terbarukan.
Mereka mencatat kapasistas pembangkit energi terbarukan terutama tenaga surya, angin, dan air di tahun 2023 meningkat hampir 50 persen dibandingkan tahun 2022.
Melansir Kompas.com, laporan tersebut memicu banyak reaksi dan seruan untuk mengambil tindakan segera.
“Satu-satunya tanggapan kita adalah menghentikan pembakaran bahan bakar fosil sehingga kerusakan dapat dikurangi,” kata Martin Siegert, profesor geosains di Universitas Exeter.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan aksi iklim tampak mahal tetapi dampak dari tidak adanya tindakan terhadap perubahan iklim jauh lebih tinggi. Apalagi jika tidak melakukan apa pun.
Pemerintah dan masyarakat harus mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]