WahanaNews.co | Kompak melakukan tindakan lancung membuat semakin panjangnya daftar perilaku korup yang melibatkan orangtua dan anaknya.
Tak sedikit kasus yang melibatkan anggota keluarga ini terungkap dalam penyelidikan aparat penegak hukum, khususnya di KPK.
Baca Juga:
JPU Tuntut Alex Noerdin 20 Tahun Penjara
Teranyar, KPK mengungkap perkara suap di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).
Sang Bupati, Dodi Reza Alex Noerdin, dijerat sebagai tersangka.
Status tersangka ini disandang Dodi Reza tak lama sesudah sang ayah, mantan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin, dijerat dua kasus di Kejaksaan Agung.
Baca Juga:
Alex Noerdin Dicecar, JPU Tanyakan Kaitan PDPDE dengan Perusahaan Swasta
Dodi Reza terjerat kasus suap pengurusan proyek infrastruktur dan dijanjikan fee sebesar Rp 2,6 miliar atas empat proyek yang dikerjakan pihak swasta.
Diduga, Rp 270 juta di antaranya sudah diberikan kepada Dodi Reza.
Sementara sang ayah dijerat di kasus korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan tahun 2010-2019 yang diduga rugikan negara USD 30.000.000 dan kasus pembangunan Masjid Sriwijaya yang diduga rugikan negara Rp 130 miliar.
Selain Dodi Reza dan Alex Noerdin, terdapat juga sejumlah kasus serupa yang melibatkan orang tua-anak dalam perbuatan rasuah.
Dalam catatan media, setidaknya ada 6 kasus semacam itu.
Melibatkan siapa saja?
Korupsi Pengadaan Al Quran
Zulkarnaen Djabar, selaku mantan Anggota Komisi VIII DPR RI, terjerat kasus korupsi pengadaan Al Quran pada 2013.
Dia dijerat bersama sang anak yang bekerja di Kementerian Agama, Dendy Prasetya.
Dalam kasusnya, Zulkarnaen bersama anaknya dan Fahd El Fouz selaku Ketua Generasi Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong saat itu, mengintervensi Kemenag memenangkan PT Batu Karya Mas.
Mereka bertiga pun mendapatkan fee Rp 4,7 miliar.
Ketiganya juga terbukti mengintervensi pejabat Kemenag memenangkan PT Adhi Aksara Abadi Indonesia dalam proyek pengadaan Al Quran.
Ketiganya mendapatkan fee Rp 9,2 miliar atas pengaruhnya itu.
Selain itu, Zulkarnaen mendapatkan fee Rp 400 juta karena memperjuangkan anggaran APBN-P 2011 Kemenag.
Sehingga, total uang yang diterima mereka mencapai Rp 14,3 miliar.
Atas perbuatannya, hakim memvonis Zulkarnaen 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Sementara sang anak divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Kasus Suap Dana Alokasi Khusus
Kasus ayah dan anak selanjutnya adalah eks Anggota Komisi XI DPR, Amin Santono, dan Eka Kamaluddin sebagai perantara suap.
Keduanya terjerat dalam kasus pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Amin menerima suap dari Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah, Taufik Rahman, dan Direktur CV Iwan Binangkit sebagai penyedia barang/jasa di Kabupaten Sumedang, Ahmad Ghiast.
Total yang diterima adalah Rp 3,3 miliar.
Uang itu sebagai pelicin agar Amin memperjuangkan Lampung Tengah dan Kabupaten Sumedang mendapatkan DAK.
Atas perbuatannya, Amin divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Dia juga dijatuhi hukuman uang pengganti Rp 1,6 miliar.
Sementara sang anak, divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Ia juga dijatuhi hukuman uang pengganti Rp 158 juta.
Wali Kota Kendari
Mantan Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, juga tersandung kasus korupsi bersama sang ayah, Asrun.
Keduanya dinilai terbukti menerima suap Rp 2,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah.
Uang itu sebagai fee dari Hasmun yang mendapatkan proyek pekerjaan multiyears pembangunan jalan Bungkutolo-Kendari 2018-2020.
Khusus Hasrun, dia juga menerima Rp 4 miliar dari Hasmun.
Uang itu diberikan saat dia menjabat Wali Kota sebelum anaknya, karena menyetujui proyek untuk Hasmun.
Proyek tersebut yakni pembangunan Kantor DPRD Kota Kendari dan pembangunan Tambat Labuh Zona III Taman Wisata Teluk (TWT) - Ujung Kendari Beach.
Kedua proyek itu menggunakan anggaran tahun 2014-2017.
Ayah dan anak ini sama-sama divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Wali Kota Cilegon
Kasus kali ini masih melibatkan ayah dan anak.
Bedanya, keduanya terjerat kasus yang berbeda.
Mantan Wali Kota Cilegon, Aat Syafaat (alm), saat itu terjerat kasus korupsi dengan penggelembungan harga pembangunan dermaga sehingga menyebabkan kerugian negara Rp 11,5 miliar.
Saat itu, kasus ini melibatkan PT Krakatau Steel, di mana Pemkot Cilegon melakukan tukar guling dengan perusahaan tersebut terkait lahan pembangunan pabrik dan dermaga.
Aat akhirnya divonis 3,5 tahun penjara.
Sementara anaknya, yang meneruskan tampuk kepemimpinan di Cilegon, juga terjerat korupsi.
Tubagus Imam Ariyadi menjadi pesakitan karena terbukti melakukan korupsi mengenai Amdal Mal Transmart.
Ia terbukti menerima suap Rp 1,5 miliar dan divonis 4 tahun penjara di tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Bupati Kutai Kartanegara
Anak dan ayah kembali menjadi pesakitan.
Kali ini, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais, yang terjerat dalam kasus penyalahgunaan dana perangsang pungutan migas, dana studi kelayakan Bandara Kutai Kartanegara, dana pembangunan Bandara Kutai Kartanegara, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat.
Korupsi tersebut dilakukan sepanjang 2001-2005.
Hakim Mahkamah Agung memvonis Syaukani Hasan 6 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta.
Dia juga dijatuhi hukuman tambahan uang pengganti Rp 46,3 miliar.
Beberapa tahun berselang, gilirang sang anak, Rita Widyasari, yang dijerat oleh KPK dalam kasus suap dan gratifikasi.
Dia dinyatakan menerima gratifikasi Rp 110 miliar.
Gratifikasi itu diterima oleh Rita sebagai pelicin penerimaan terkait proyek dan perizinan di lingkungan Pemkab Kutai Kartanegara.
Uang itu ia terima selama menjabat sebagai bupati, dalam kurun Juni 2010 hingga Agustus 2017.
Untuk kasus suap, Rita terbukti menerima uang dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima (SGP), Hery Susanto Gun alias Abun.
Suap diberikan agar Rita memberikan izin lokasi kepada PT SGP di Desa Kupang Baru, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kukar, seluas 16 hektare.
Rita menerima uang sebesar Rp 6 miliar yang dikirimkan Abun via transfer ke rekening Bank Mandiri milik Rita dalam 2 tahap.
Dengan rincian, sebesar Rp 1 miliar pada 22 Juli 2010 dan Rp 5 miliar pada 5 Agustus 2010.
Atas dua perbuatan itu, Rita divonis 10 tahun penjara, denda Rp 600 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Saat ini penyelidikan terkait Rita juga masih dilakukan oleh KPK.
Dia dibidik dengan perkara pencucian uang Rp 436 miliar.
Namun, belum ada informasi lebih lanjut mengenai kasus tersebut.
Wali Kota Bandung Barat
Berbeda dari kasus-kasus lainnya, kasus Wali Kota Bandung Barat, Aa Umbara Sutisna, dan anaknya ini masih berjalan di Pengadilan Tipikor Bandung.
Aa Umbara didakwa ikut terlibat dalam pengadaan barang untuk penanganan pandemi di Kabupaten Bandung Barat.
Padahal, hal itu dilarang oleh undang-undang.
Campur tangan itu dilakukan melalui perusahaan milik M Totoh Gunawan serta perusahaan yang disiapkan oleh Andri Wibawa melalui Denny Indra Mulyawan, Hardy Febrian Sobana, dan Diane Yuliandari.
Andri Wibawa merupakan anak Aa Umbara, sementara Diane Yuliandari disebut merupakan istri siri Aa Umbara.
Aa Umbara didakwa melanggar Pasal 12 huruf i Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana.
Tak hanya itu, Aa Umbara juga didakwa menerima gratifikasi yang jumlahnya Rp 2.419.315.000.
Uang berasal dari sejumlah kepala dinas hingga pengusaha.
Anak Aa Umbara, Andri Wibawa, juga dijerat tersangka di kasus ini. [dhn]