Oleh SAURIP KADI
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
NORMA ambang batas presidensial (presidential threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) belakangan ini digugat oleh banyak kalangan.
Karena ketergesa-gesaan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, wajar saja kalau para pendiri bangsa (founding fathers) kita belum sempat merumuskan undang-undang dasar (UUD) dengan sempurna.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Bahkan, keberadaan partai dan pemilu sebagai syarat utama dalam berdemokrasi pun belum dirumuskan.
Dengan sistem kenegaraan yang digelar berdasarkan UUD 1945 yang asli, sejak awal kemerdekaannya hingga lengsernya Soeharto, negeri ini lebih banyak dikelola secara otoriter, tetapi kemudian distempel sebagai demokrasi.
Sementara di era berikutnya, sistem kenegaraan yang tergambar dalam UUD hasil empat kali amendemen justru menjadi semrawut sehingga asistemis, di samping juga belum konstitutif.
Dalam berdemokrasi juga belum ada kejelasan jenis kelamin dari sistem yang dipilihnya.
Kondisi tersebut sudah barang tentu tidak bisa lepas dari proses amendemen UUD yang tidak didahului dengan perubahan platform sistem kenegaraan dari semula otoriter menjadi demokrasi.
Akibatnya, dalam menyusun UU turunannya, seperti UU Pemilu, alat kelengkapan sistem presidensial begitu saja dicampur dengan alat kelengkapan sistem parlementer.
Dari pencampuran tersebut, akhirnya dalam banyak hal terjadi praktik saling mereduksi dan bahkan menegasikan makna kedaulatan rakyat itu sendiri.
Dalam sistem parlementer, umpamanya, rakyat dalam pemilu memilih tanda gambar partai.
Artinya, pemilu dalam sistem parlementer sesungguhnya adalah mekanisme kontrak sosial antara rakyat selaku pemilik kedaulatan dengan partai.
DPR dalam sistem parlementer adalah wakil partai dan karena itu dibutuhkan norma ambang batas perolehan kursi bagi partai untuk bisa duduk di DPR.
Ambang batas yang dimaksud adalah jumlah minimal perolehan kursi dalam pemilu sehingga partai bisa menempatkan wakilnya minimal satu orang pada semua alat kelengkapan DPR, seperti komisi-komisi dan lembaga resmi lainnya.
Norma ambang batas tersebut secara universal dikenal dengan istilah parliamentary threshold.
Bagaimana praktik demokrasi yang kita laksanakan saat ini?
Ditilik dari kedudukan rangkap presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, sejatinya kita adalah penganut sistem presidensial murni.
Oleh karena itu, baik presiden maupun anggota DPR semestinya dipilih melalui pemilu langsung, di mana rakyat mencoblos tanda gambar orang, yakni calon presiden (capres) ataupun calon anggota legislatif (caleg).
Keduanya tidak bisa dicopot di tengah jalan, kecuali karena alasan tindak pidana.
Sementara kedudukan DPR dalam sistem presidensial murni adalah sebagai wakil rakyat.
Dalam kenyataannya, keberadaan DPR kita dewasa ini diatur layaknya DPR dalam sistem parlementer, di mana DPR adalah wakil partai, dan karena itu norma ambang batas parlemen mutlak harus diterapkan.
Padahal, norma ambang batas parlemen dalam sistem presidensial murni berpotensi melanggar hak asasi caleg yang di daerah pemilihannya memperoleh suara terbanyak, tetapi perolehan suara partainya di tingkat nasional tak memenuhi ketentuan ambang batas parlemen.
Norma itu juga nyata-nyata berpotensi melanggar kedaulatan rakyat karena ”suara” yang diberikan kepada caleg, sebagaimana dijelaskan di atas, dalam praktiknya bisa menjadi hilang dan bahkan kemudian tanpa seizin pemiliknya dialihkan kepada caleg lainnya.
Hal sejenis juga terjadi dalam kaitan dengan ambang batas presidensial (presidential threshold).
Pembuat UU dan juga hakim Mahkamah Konstitusi di negeri ini seharusnya memahami bahwa norma ambang batas presidensial hanyalah dikenal dalam sistem demokrasi campuran seperti yang dianut Perancis, Timor Leste, dan beberapa negara lain.
Konsep demokrasi campuran yang dimaksud hanya berlaku pada sistem parlementer, tetapi keberadaan kepala negara, dengan sebutan apa pun, tak mempunyai hubungan sejarah dengan keberadaan negara.
Artinya, keberadaan kepala negara dipilih melalui pemilu langsung, di mana rakyat mencoblos tanda gambar capres.
Adapun memilih anggota DPR ditempuh melalui pemilu tidak langsung karena rakyat mencoblos tanda gambar partai.
Keberadaan norma presidensial dalam sistem demokrasi campuran sebagaimana diungkapkan di atas justru menjadi instrumen utama dalam menjaga stabilitas politik dan keselamatan negara.
Karena pada kondisi tertentu, yaitu ketika perdana menteri ”jatuh” akibat mosi tidak percaya, presiden mempunyai akses politik terhadap DPR, yaitu melalui partai atau gabungan partai yang dulu mengajukannya sebagai capres, sehingga potensi terjadi kekosongan kekuasaan secara berkepanjangan dapat dicegah.
Di sisi lain, norma ambang batas presidensial dalam sistem presidensial murni juga berpotensi melanggar kedaulatan rakyat karena ”hak untuk dipilih warga negara” menjadi hilang akibat keberadaan norma tersebut.
Padahal, dalam sistem presidensial murni justru dikenal calon independen, sebagaimana yang kita terapkan pada pilkada.
Dengan demikian, rakyat mempunyai solusi ketika calon yang diajukan partai-partai peserta pemilu tidak memberi harapan baru bagi rakyat banyak.
Cara Membatasi Jumlah Peserta Pemilu
Berangkat dari pengalaman di banyak negara demokrasi, agar pemilu dapat dilaksanakan dengan biaya murah dan tidak muncul potensi pengulangan pemilu lebih dari satu kali, serta untuk menghindari munculnya kerawanan sosial akibat banyaknya jumlah peserta pemilu, mutlak diperlukan aturan main untuk menyaring jumlah partai calon peserta pemilu.
Untuk maksud tersebut, bisa ditempuh dengan memperberat persyaratan administrasi bagi partai untuk bisa ikut menjadi peserta pemilu, salah satunya dengan memperbesar jumlah persentase keberadaan kepengurusan di semua tingkat pemerintahan, mulai dari provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa.
Dengan kata lain, ke depan, dalam memfilter agar jumlah partai peserta pemilu menjadi terbatas, tidak lagi dilakukan dengan cara melanggar hak primer warga negara, yaitu hak-hak warga negara yang diatur langsung dalam UUD.
Di sanalah pentingnya pembuat UU dan para hakim MK untuk memahami prinsip dasar dalam berdemokrasi, yakni ”hak primer” warga negara tidak boleh direduksi, dikalahkan, dan apalagi dinegasikan oleh ”hak sekunder”, yaitu hak yang lahir karena undang-undang.
Di samping itu, mereka juga perlu memahami hakikat dari makna, tujuan, kontekstual, dan juga logika politik serta filsafat norma ambang batas parlemen dan ambang batas presiden sehingga ke depan tidak terjadi lagi pelanggaran kedaulatan rakyat, tapi sah menurut hukum karena diatur dalam undang-undang.
Sikap dan kesadaran untuk mengganti sarana dalam menyaring jumlah calon peserta pemilu, dari semula dengan menggunakan norma ambang batas, diubah dengan memperberat persyaratan administrasi bagi partai untuk bisa menjadi peserta pemilu, pada hakikatnya adalah laku hijrah dari Sodom dan Gomora untuk era kekinian, agar terbebas dari azab sebagaimana dijanjikan Tuhan dalam firman-Nya. (Saurip Kadi, Mayjen TNI Purn Mantan Anggota Fraksi ABRI/Komisi II DPR RI)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Ambang Batas Presiden dan Parlemen”. Klik untuk baca: Ambang Batas Presiden dan Parlemen - Kompas.id.