WahanaNews.co | Revisi Undang-Undang Pemilu, yang saat ini tengah dibahas di DPR, memunculkan desakan agar pelaksanaan serentak
dievaluasi.
Berkaca pada Pemilu
2019, model serentak menimbulkan banyak kekacauan, baik dari aspek
penyelenggara maupun masyarakat selaku pemilih.
Baca Juga:
Pemilu 2024 Disebut Paling Brutal, Biaya Politik Makin Tak Terkendali
Usulan untuk memisahkan Pemilu Serentak disampaikan oleh Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Subardi.
Menurutnya, perlu jeda waktu antara Pemilu Legislatif (hingga ke
daerah) dengan Pemilu Presiden,
agar tidak terjadi kekacauan sosial-politik.
"Berkaca pada Pemilu
2019, desain serentak tidak harus digelar sehari. Perlu jeda waktu antara Pileg dan Pilpres,
agar tidak terjadi kekacauan," ujar Anggota Komisi VI DPR RI itu di Sleman, Sabtu (9/1/2021).
Baca Juga:
Bawaslu Kulon Progo Gelar Penguatan Kapasitas Pengawas Pemilu Kecamatan untuk Pemilu 2024
Menurut legislator dari Dapil Yogyakarta itu, pemisahan serentak
diperlukan agar masyarakat bisa fokus dalam mengikuti Pileg dan Pilpres.
Selain itu, penyelenggara Pemilu juga tidak akan kelelahan, apalagi sampai menelan korban jiwa, seperti pada Pemilu 2019.
Namun demikian, pemisahan serentak tidak harus jeda selama
berbulan-bulan,
seperti pada Pemilu
2014 dan sebelumnya.
Saat itu, Pemilu Legislatif
digelar bulan April,
dan Pemilu Presiden pada bulan
Juli.
"Sebaiknya,
di tahun 2024,
model serentak tidak dipisah berbulan-bulan. Pemisahan Pileg dan Pilpres
idealnya maksimal satu bulan, dengan catatan tidak boleh ada perubahan koalisi
Capres-Cawapres. Bila ini dilakukan, justru memicu konstelasi politik yang panas dan melelahkan,"
kata dia.
Pemisahan makna serentak antara Pileg dan Pilpres, lanjutnya, tidak harus mengubah koalisi Capres-Cawapres.
Pasangan Capres tetap diusung satu paket bersama partai
pengusung sebelum Pemilu Legislatif,
seperti halnya Pemilu 2019.
"Tidak semua dari Pemilu 2019 dirombak. Koalisi Capres-Cawapres tetap satu paket dan diusulkan sebelum Pemilu
Legislatif. Hal ini penting untuk menghindari politik transaksional akibat
perolehan suara legislatif," tambahnya.
Dengan pemisahan model serentak, Pemilu Legislatif akan menjadi ajang adu gagasan antar parpol.
Parpol akan bertarung dengan platform
dan gerakan ideologinya untuk mendapat kursi parlemen.
Begitupun dengan Pilpres, Calon Presiden akan mengusung gagasan
strategis, menyelaraskan
banyak
gagasan dari parpol pengusung.
Ia yakin, Pemilu tidak
lagi bertumpu pada hiruk-pikuk figur, seolah Pemilu hanya soal Pilpres saja.
"Dengan pemisahan ini, masyarakat akan tertarik dengan politik
gagasan. Pemilu pun
tidak hanya soal Presiden saja, melainkan ada Pemilu Legislatif dan partai politik
sebagai poros gagasan. Ini penting, agar tidak ada parpol yang numpang tenar karena Capres,"
jelasnya.
Dari aspek hukum, Subardi menilai usulan ini tidak akan
melenceng dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
Melalui putusan itu, lahirlah Pemilu serentak yang dirancang mulai tahun 2019. MK menggunakan frase serentak agar Pileg dan Pilpres
digelar satu paket.
"Frase serentak tetap dimaknai satu paket, meskipun pelaksanaannya tidak satu hari. Yang jelas, landasan filosofi itu tetap dipertahankan, bahwa
pemilu legislatif dan eksekutif harus serentak, karena kerja sistem presidensial mengharuskan
legitimasi keduanya satu paket,"
pungkasnya. [dhn]