WahanaNews.co, Jakarta - Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2, mengulang kali mengkritik lawannya dalam debat cawapres yang berlangsung pada Jumat (22/12/2023) malam.
Salah satu lawannya, yaitu calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, menjadi sasaran pertanyaan dari Gibran.
Baca Juga:
DPD MARTABAT Prabowo-Gibran DKI Jakarta Dukung Ridwan Kamil-Suswono di Pilgub 2024
Gibran menanyakan bagaimana Mahfud berencana mengatur regulasi terkait teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) jika terpilih sebagai Wakil Presiden selanjutnya.
“Karena Prof Mahfud adalah ahli hukum, saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk carbon capture and storage,” tanya Gibran di panggung debat di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
Menjawab Gibran, Mahfud bilang bahwa membuat regulasi tak harus spesifik satu per satu, kecuali jika proyek yang dijalankan sudah ada. Dalam proses pembuatan regulasi, kata Mahfud, paling mendasar yakni membuat naskah akademik.
Baca Juga:
Era Baru Kendaraan Dinas, Menteri dan Eselon 1 Akan Gunakan Maung Buatan PT Pindad
“Bagaimana cara regulasinya? Satu, membuat naskah akademik dulu. Naskah akademik itu kalau mengikuti pola yang sederhana aja, pakai aja kasus 'roccipi' (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, dan ideology) namanya kalau di dalam ilmu perundang-undangan itu,” jawab Mahfud.
“Misalnya, regulasi yang sudah ada bagaimana, kalau belum ada bagaimana, kemudian opportunity-nya bagaimana, kemudian kapasitas lembaganya bagaimana, kemudian komunikasi publiknya bagaimana, kemudian ideologisnya bagaimana. Itulah yang disebut 'roccipi', dan prosedur tentu saja,” terangnya.
Mahfud menyatakan bahwa jika dirinya dan Ganjar Pranowo terpilih sebagai pemimpin negara berikutnya, keduanya berkomitmen untuk menerapkan prinsip tersebut dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya dalam regulasi terkait karbon, tetapi juga dalam aturan-aturan lainnya.
Menyikapi jawaban tersebut, Gibran kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Mahfud.
Putra sulung Presiden Joko Widodo itu menyatakan bahwa penjelasan Mahfud tidak memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaannya.
“Kembali lagi ke pertanyaan saya, Pak, Prof Mahfud menjawab dua menit, tapi pertanyaan saya belum dijawab sama sekali, Pak. Apa regulasinya Pak untuk carbon capture and storage?” cecar Gibran.
“Simpel sekali, Pak, pertanyaan saya, Pak, Mohon dijawab, dijawab sesuai pertanyaan yang saya tanyakan, Pak, enggak perlu ngambang ke mana-mana, Pak, terima kasih,” lanjutnya dengan nada yang mulai meninggi.
Merespons Gibran, Mahfud tak kalah panas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu kembali mengungkit naskah akademik.
“Karena hukum itu perlu masalahnya dulu apa yang mau dibuat, itulah kemudian dibuat naskah akademik. Menurut peraturan yang sekarang ada di dalam perpres (peraturan presiden), itu disebutkan buat naskah akademik, naskah akademik itu nanti dinilai bersama, lalu dibahas gitu ramai-ramai,” ujarnya.
Mengacu pada informasi yang terdapat di situs web Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), carbon capture and storage (CCS) merupakan suatu teknologi mitigasi pemanasan global yang bertujuan mengurangi emisi CO2 atau karbon dioksida ke atmosfer.
Teknologi ini melibatkan serangkaian proses yang saling terkait, dimulai dari tahap pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 yang telah tertangkap ke lokasi penyimpanan (transportation), hingga penyimpanan CO2 ke tempat yang aman (storage).
Gibran tidak hanya menanyakan hal tersebut kepada Mahfud, tetapi juga mengkritik calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar. Terkait dengan Muhaimin, Wali Kota Surakarta itu mengajukan pertanyaan mengenai State of the Global Islamic Economy (SGIE).
"Karena Gus Muhaimin ini adalah ketua umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), saya yakin sekali Gus Muhaimin paham sekali untuk masalah ini, bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?" tanya Gibran.
Mendengar pertanyaan Gibran, Muhaimin mengaku tak tahu apa itu SGIE dan balik bertanya. "Terus terang SGIE saya enggak paham, SGIE itu apa?".
Gibran lantas menerangkan bahwa SGIE merupakan kepanjangan dari State of Global Islamic Economy.
Menurutnya, perihal ini penting mengingat Indonesia tengah fokus mengembangkan ekonomi syariah dan keuangan syariah.
"Misalnya sekarang yang sudah masuk peringkat 10 besar adalah makanan halal kita, skincare halal kita, fesyen kita, nah itu yang saya maksud, Gus. Dan ya mohon maaf kalau pertanyaannya sulit ya, Gus. Terima kasih," tanya Gibran kembali.
Merespons Gibran, Muhaimin menyebut bahwa Indonesia memang punya potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah. Muhaimin setuju bahwa Indonesia harus naik peringkat dalam urusan perekonomian syariah.
"Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, yang harus dilakukan pemerintah adalah menyiapkan seluruh perangkat regulasi agar tumbuh kembang seluruh industri halal, termasuk bagaimana membantu sertifikasi secara murah, bahkan gratis terutama bagi UMKM kita," kata Muhaimin.
Mengamati taktik debat Gibran, Kunto Adi Wibowo, analis komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, menilai bahwa penggunaan istilah-istilah yang kompleks oleh Gibran dalam debat merupakan bagian dari strategi.
Gibran sengaja tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai istilah-istilah yang dia tanyakan untuk membuat lawannya bingung.
Lebih membingungkan lagi, ketika Gibran menyebut istilah SGIE yang seharusnya diucapkan dalam bahasa Inggris, dia justru melafalkannya dalam bahasa Indonesia.
Meskipun begitu, menurut Kunto, tidak dapat dipastikan bahwa lawan debat Gibran benar-benar tidak memahami pertanyaan yang diajukan.
“Memang hanya taktik untuk membingungkan lawan saja, enggak ada urusannya dengan pengetahuan,” kata Kunto, melansir Kompas.com, Sabtu (23/12/2023).
Kunto menilai, strategi Gibran ini meniru taktik ayahnya pada debat Pilpres 2014 dan 2019, ketika Jokowi menyinggung soal TPID dan unicorn di hadapan Prabowo.
“Kalau menurut saya, memang ini taktik yang digunakan oleh Gibran di saat debat, sama seperti taktik yang digunakan pak Jokowi waktu menyebut unicorn dengan TPID,” ujarnya.
Menurut Kunto, penggunaan singkatan dan istilah awam ini justru jauh dari esensi debat. Akibatnya, persoalan lain yang lebih substansial tak dibahas.
“Akhirnya kan semalam jadi tidak ada kebijakan fiskal yang di perbincangkan. Jadi enggak ada kemudian kebijakan ekonomi makro yang diperbincangkan, semuanya hanya sekedar gimik. Istilah-istilah seperti hilirisasi karbon itu yang akhirnya menurut saya menjauhkan esensi debat ini,” katanya.
Memang, kata Kunto, Gibran berhasil dalam penampilannya di debat semalam, tapi tidak pada adu gagasan.
“Kemarin semata mata hanya show aja. Dan Mas Gibran menurut saya berhasil dalam show di debat itu, tapi bukan pada adu gagasan dan substansi debatnya,” tuturnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]