WahanaNews.co, Jakarta - A. Khoirul Umam, Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC), memiliki pandangan yang unik mengenai elektabilitas Anies Baswedan, bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan.
Hasil survei terbaru dari Litbang Kompas pada bulan Agustus 2023 kembali mengonfirmasi bahwa elektabilitas Anies tertinggal dibandingkan dengan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Baca Juga:
Elektabilitas Prabowo-Gibran 51,8%, IPS: Pilpres Berpotensi Satu Putaran
"Walaupun pernah mencapai angka elektabilitas sekitar 29% pada akhir tahun 2022, namun selama paruh pertama tahun 2023 ini, elektabilitas Anies selalu terpuruk di posisi terbawah dengan selisih angka yang cukup besar dibandingkan dengan calon presiden potensial lainnya seperti Prabowo dan Ganjar," ujar Khoirul Umam, mengutip CNBC Indonesia, Kamis (24/8/2023).
"Penurunan elektabilitas Anies ini juga dirasa oleh kemerosotan kondisi Koalisi Perubahan. Di saat PKS dan Demokrat bersiap untuk mendeklarasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden serta mempersiapkan struktur pemenangan untuk Anies, Nasdem justru terlihat enggan dan menunda pengumuman hingga saat-saat akhir," tambahnya.
Menurut Khoirul Umam, kemungkinan besar alasan dari ketidakaktifan Nasdem adalah karena situasi di mana Surya Paloh, ketua umum partai, terjebak oleh tangan-tangan kekuasaan yang tidak terlihat (yang sering disebut sebagai "tangan tak terlihat"), yang baru-baru ini suka menggunakan instrumen hukum untuk melawan lawan politik.
Baca Juga:
Survei Indikator: Prabowo-Gibran Mendominasi Semua Wilayah, Kecuali Jateng-DIY
Karena takut terhadap upaya "penyerang" ini, Paloh cenderung memilih untuk tetap diam, menunda keputusan, dan tidak segera menentukan masa depan pencalonan Anies.
"Di sisi lain, Anies, yang semestinya memimpin koalisi dengan tegas, kini juga tampak enggan untuk berbicara ketika koalisinya mengalami stagnasi dan elektabilitasnya masih terhambat enam bulan sebelum Pilpres 2024.
Bahkan sebagai calon presiden yang mendukung perubahan, Anies sendiri juga terlihat ragu-ragu dan kurang berani untuk mengkritik kebijakan pemerintahan yang ia klaim ingin ubah," ungkap Khoirul Umam.
Menurutnya, kendala elektabilitas yang tidak bergerak bagi Anies dan ketidakgerakan Nasdem dalam jangka panjang ini akan menjadi "ujian berat" bagi partai-partai lain yang mendukung Anies.
Selain terancam tidak akan mendapatkan efek ekor jas (coat tail effect) dari pencapresan Anies, PKS dan Demokrat kini juga tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya seolah tidak ada kemajuan, tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi, dan tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.
Karena itu, kata Khoirul Umam, munculnya ide penggabungan Ganjar-Anies sebagai pasangan capres-cawapres belakangan ini, dipandang sebagai bagian dari "strategi awal pembubaran" Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi.
"Jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elite partai-partai, tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang 'mengunci' tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies, sehingga gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar pencapresan Anies ke depan," ujarnya.
Lebih lanjut, Khoirul Umam bilang, Jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya.
Sebab, pascabergabungnya Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final. Tidak ada lagi yang perlu ditunggu.
Jika Anies tetap terdiam, menurut Khoirul Umam, Anies tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum.
Anies seharusnya juga paham bahwa success story-nya di Pilkada Jakarta 2017, di mana elektabilitasnya sempat tercecer di awal kontestasi, tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres Indonesia.
"Maka sebagai kekuatan penantang yang memiliki jaringan, kekuatan politik, dan logistik yang relatif terbatas, seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat," ungkapnya.
Caranya, lanjut dia, dengan deklarasi capres-cawapres, finalisasi Sekretariat Bersama (Sekber), dan membentuk infrastruktur pemenangan. Sehingga elektabilitasnya sebagai capres kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024 mendatang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]