WahanaNews.co, Jakarta - Atas dugaan nepotisme, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Penggugatnya adalah Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.
Baca Juga:
Ajudan Sebut Rekaman Suara Mirip Jokowi Terkait Ahmad Luthfi Dipastikan Hoaks
Adapun klasifikasi perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ini teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta dengan nomor 11/G/TF/2024/PTUN.JKT.
Menurut perwakilan penggugat, Petrus Selestinus, gugatan ini diajukan lantaran Jokowi dinilai telah melakukan nepotisme untuk membangun dinasti politik yang bertentangan dengan TAP MPR No.XI/1998, Undang-Undang (UU) dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
“TPDI dan Perekat Nusantara melihat nepotisme dinasti politik Presiden Jokowi telah berkembang sangat cepat, sehingga telah menjadi ancaman serius terhadap pembangunan demokrasi,” kata Petrus, melansir Kompas.com, Senin (15/1/2024).
Baca Juga:
Jokowi Dijadwalkan Kampanye di Bali untuk De Gadjah Hari Ini, 22 November
“Secara absolut akan menggeser posisi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan nepotisme dinasti politik Jokowi yang berpuncak di Mahkamah Konstitusi dan Lembaga Kepresidenan,” ucapnya.
Gugatan tersebut pun memancing reaksi dari kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, PDI-P, hingga Istana.
Istana serahkan ke PTUN
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menanggapi soal Presiden Joko Widodo dan keluarganya yang saat ini digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dugaan nepotisme.
Menurut Ari, pihaknya menyerahkan kepada PTUN untuk menilai apakah gugatan itu murni persoalan tata usaha negara atau karena ada muatan politis.
"Kita serahkan saja ke PTUN untuk menilai apakah ini murni gugatan tata usaha negara, atau gugatan yang bermuatan politis menjelang Pemilu 2024," ujar Ari saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (15/1/2024).
Ari juga mengungkapkan, saat ini Kementerian Sekretariat Negara (Kemenseteg) belum menerima salinan gugatan itu.
"Jadi belum bisa mengomentari lebih lanjut mengenai substansi gugatan tersebut," tuturnya.
PDI-P anggap nepotisme sudah terjadi
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menilai, nepotisme bukan lagi dugaan, tetapi sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi dan keluarga.
“Kalau nepotisme kan bukan dugaan lagi, sudah terjadi,” kata Hasto saat ditemui di Bentara Budaya, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Ketika ditanya apakah PDI-P bakal memberikan bantuan hukum ke Jokowi mengingat orang nomor satu di Indonesia itu masih tercatat sebagai kader partai banteng, Hasto tak menjawab tegas.
Dia hanya menyebut bahwa dalam perkara ini, PDI-P memisahkan proses hukum karena gugatan terhadap Jokowi dilayangkan oleh masyarakat sipil.
Menurut Hasto, gugatan sejumlah pihak ini dilandasi oleh semangat reformasi untuk melawan kesewenang-wenangan.
“Itu masyarakat sipil yang bergerak itu juga ada para penegak hukum yang memang digerakkan oleh semangat reformasi, digerakkan oleh perasaan bagaimana ketika menghadapi suatu penjajahan model baru,” ujar Hasto.
Hasto lantas menyinggung situasi politik pada era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto di mana rakyat kerap mengkritik pemerintah. Menurut Hasto, gugatan terhadap Jokowi dan keluarga ini merupakan bagian dari kritik melalui instrumen hukum.
“Ini menurut saya masih sebagai instrumen kritik melalui hukum dan ketika itu kemudian dipahami masih ada waktu untuk melakukan koreksi,” tuturnya.
TKN Prabowo-Gibran anggap lucu
Di sisi lain, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Nusron Wahid mengatakan pihaknya heran dengan gugatan yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga atas dugaan nepotisme.
Nusron menyebut PTUN adalah tempat untuk gugatan administrasi.
"PTUN itu tempat gugatan administrasi. Jadi saya tidak paham ini gugatan apa? Apa hubungannya politik dengan PTUN?" ujar Nusron saat dimintai konfirmasi, Senin (15/1/2024) malam.
Nusron menegaskan gugatan yang dibuat itu mengada-ada dan lucu. Sebab, kata dia, gugatan tersebut mencampur antara urusan politik, demokrasi, dan administrasi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]