WahanaNews.co |
Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengumumkan bahwa kelompok tersebut tidak akan membunuh pilot Susi Air asal Selandia Baru, meskipun sebelumnya mereka mengancam akan membunuh sandera tersebut pada tanggal 1 Juli 2023.
Baca Juga:
Brigjen Pol Faizal Ramadhani: Pembebasan Pilot Susi Air dengan Kesabaran dan Pendekatan Damai sebagai Kunci Utama
Namun, kelompok tersebut tetap menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk melakukan negosiasi langsung dengan mereka mengenai pembebasan Philip Max Merhtens.
Penegasan ini disampaikan setelah adanya kekhawatiran bahwa sandera tersebut akan dibunuh dalam waktu dua bulan jika tidak ada kemajuan dalam perundingan.
Pilot Susi Air telah disandera selama lima bulan sejak kelompok TPNPB-OPM membakar pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Paro, Nduga, Papua Pegunungan, pada tanggal 5 Februari 2023.
Baca Juga:
Pembebasan Pilot Susi Air, Tokoh Adat Port Numbay Apresiasi Peran TNI-Polri dan Para Tokoh
Dua bulan yang lalu, pimpinan TPNPB-OPM merilis sebuah video di mana mereka mengancam akan menembak pilot tersebut jika pemerintah Indonesia tidak merespons tuntutan mereka.
Namun, dalam wawancara terbaru dengan BBC News Indonesia, juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menegaskan bahwa mereka tetap akan memastikan keselamatan pilot.
Sebby menyatakan bahwa pemimpin TPNPB-OPM, Egianus Kogoya, telah sepakat untuk tidak membahayakan pilot tersebut.
"Kami memperlakukan dia sebagai teman, bukan musuh. Kami akan melindunginya, kami harus menjaga pilot itu seperti menggenggam telur," ujar Sebby kepada BBC News Indonesia pada Jumat (30/6).
Jaminan ini diberikan sebagai bukti keseriusan mereka dalam melakukan perundingan dengan pemerintah Indonesia dan pemerintah Selandia Baru.
Sebby juga menyampaikan keinginan kelompok mereka untuk berunding dengan pihak yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.
"Kami memiliki tim fasilitator dan negosiator yang siap pergi ke Jakarta. Selain itu, kami juga akan meminta tim dari Selandia Baru. Saat ini, kami mengajukan pihak negara yang netral," tegas Sebby.
Sikap TPNPB-OPM dalam menjamin keamanan pilot yang disandera mendapat tanggapan positif dari Amnesty International, yang melihat pernyataan tersebut sebagai perkembangan positif dalam upaya pembebasan pilot.
"Ini adalah perkembangan positif yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah dalam menjajaki pertemuan awal untuk mencapai penyelesaian damai," ungkap Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Menurut Usman, pemerintah perlu membuka diri untuk melakukan dialog inklusif, tidak hanya dengan pihak dari Papua yang mendukung pemerintah, tetapi juga dengan pihak yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan Papua.
“Kalau hanya dengan [pihak] pro-pemerintah, apa yang perlu didialogkan? Karena tidak ada konflik. Resolusi itu diperlukan untuk mengakhiri sebuah konflik,” tambahnya.
Dihubungi secara terpisah, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, menekankan bahwa pemerintah belum dihubungi oleh tim negosiasi TPNPB-OPM yang diklaim oleh Sebby sudah dikirim ke Jakarta.
“Tidak ada tim negosiasi. Siapa yang berani mengakui diri sebagai tim negosiasi KKB atau jaringan separatis Papua? Siapa yang berani untuk menyatakan bahwa dia mewakili kelompok penyandera ini?”
Meski begitu, Theo memastikan komunikasi dengan pihak TPNPB-OPM terus berjalan melalui perantara tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah provinsi.
Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, menegaskan bahwa pilot berkebangsaan Selandia Baru itu tidak akan ditembak mati oleh kelompok tersebut.
Namun, pembebasan pilot itu hanya akan dilakukan dengan syarat pemerintah Indonesia setuju untuk duduk di meja negosiasi bersama TPNPB-OPM.
”Kami akan bebaskan secepatnya, sekarang tinggal [menunggu] Jakarta dan Selandia Baru. Kami tunggu mereka mau negosiasi dengan kami atau tidak [terkait] pembebasan pilot.
”Tidak ada alasan. Jakarta mau tidak mau, harus [mau berunding]. Selandia Baru juga, kita harus bicara. Baru kita bebaskan pilot secara damai,” ungkap Sebby.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa TPNPB-OPM telah mempersiapkan tim negosiasi untuk berunding dengan Jakarta dalam pembebasan pilot.
Bahkan, ia mengaku TPNPB-OPM sudah mengirim tim ke Jakarta untuk bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo. Sebab, mereka meminta agar perwakilan mereka berunding langsung dengan tim negosiasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
”Kami sudah siap. Kami punya tim juru runding. Jadi bulan ini kami sudah rapat segi tiga. Pokoknya dari segi politik, sipil, dan militer. Kami sudah putuskan siap menjadi juru runding untuk menegosiasi tentang kebebasan pilot,” kata Sebby.
Pilot Susi Air yang bernama Philip Max Mehrtens sudah disandera TPNPB-OPM sejak Februari lalu.
Selama lima bulan terakhir, pihak Polda Papua dan TNI sudah berupaya untuk menemukan lokasi kelompok itu dan membebaskan pilot.
Namun, upaya pembebasan ini tidak mudah. Permasalahan ini pun memicu beberapa insiden bentrokan senjata yang menewaskan sejumlah anggota TNI dan warga sipil.
Kelompok TPNPB-OPM terus mendesak pemerintah Indonesia untuk melibatkan Selandia Baru atau pihak internasional lainnya untuk menjadi pihak ketiga dalam membahas kemerdekaan Papua.
Tetapi, keinginan dialog kedua pihak tersebut belum terealisasi. Sebab, pemerintah Indonesia sudah berulang kali menolak tuntutan TPNPB-OPM yang mengaitkan pembebasan pilot Susi Air dengan isu kemerdekaan.
Belakangan, TPNPB-OPM mengancam akan membunuh sang pilot jika Jakarta menolak tawaran perundingan. Pernyataan ini menimbulkan tanggapan dari macam-macam pihak pemerhati isu Papua dan pegiat HAM.
Salah satunya adalah Amnesty Internasional yang menyerukan agar pilot segera dibebaskan tanpa syarat karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia mendasar.
Bahkan, sejumlah perwakilan gereja dan uskup di Jayapura, Papua, menawarkan diri untuk menjadi mediator dengan kelompok bersenjata dalam rangka membebaskan pilot Susi Air itu.
Namun meski sudah ada berbagai opsi untuk penyelesaian konflik, sejauh ini belum ada perundingan nyata.
Amnesty International: Butuh keterbukaan dari sisi pemerintah Indonesia
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa jalur dialog perdamaian dapat menjadi solusi terbaik dalam penyelesaian konflik bersenjata yang terjadi di Papua.
“Sebenarnya memang harapan terbesar banyak kalangan forum pemerhati Papua dan para tokoh di Papua, agar pemerintah duduk bersama kelompok pro-kemerdekaan untuk melakukan semacam dialog penjajakan atau pertemuan untuk menuju penyelesaian damai,” kata Usman kepada BBC Indonesia, Jumat (30/6).
Menurut Usman, solusi itu membutuhkan keterbukaan dari sisi pemerintah Indonesia, khususnya dari terutama jajaran Kementerian Polhukam, Kementerian Luar negeri.
Meskipun ia sadar bahwa pemerintah enggan untuk melibatkan pihak internasional, ia merasa hal tersebut seharusnya tidak menjadi hambatan dalam memulai dialog.
“Saya kira ini mempertaruhkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata masyarakat dunia yang sebenarnya banyak yang bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meredakan dan menyelesaikan konflik bersenjata di Papua dan membebaskan pilot tersebut,” katanya.
Walau begitu, ia juga mengatakan pihak penyandera, TPNPB-OPM telah melanggar hukum internasional humaniter yang melarang praktik penyanderaan.
”Oleh karena itu sebenarnya proses pembebasan terhadap pilot Selandia Baru tidak boleh dilakukan dengan syarat,” kata Usman.
Secara keseluruhan, Usman berharap kedua belah pihak dapat dipertemukan dalam dialog perdamaian, supaya konflik yang telah berjalan dalam tiga sampai empat tahun terakhir dapat diselesaikan secara menyeluruh.
“Papua ini konflik bersenjatanya sudah di tahap exceptional circumstances dan sudah menuju stalemate sebenarnya. Jadi harus ada breakthrough, harus ada jeda untuk menata kembali seluruh sistem kebijakan pemerintah di Papua melalui dialog-dialog itu.”
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, menegaskan bahwa pemerintah terus melanjutkan upaya komunikasi dengan kelompok TPNPB-OPM melalui perantara pemerintah daerah, tokoh agama dan tokoh adat.
“Pemerintah tidak pernah menolak untuk bernegosiasi. Pemerintah terus melakukan komunikasi dengan penyandera. Tetapi tidak jelas dari penyandera ini mau apa dengan pilot. Dia tidak bicara soal bikin forum soal kemerdekaan,” ujar Theo kepada BBC News Indonesia.
Sampai saat ini pun, sambungnya, belum ada tim negosiasi dari TPNPB-OPM yang menyatakan diri mereka dan meminta agar bertemu dengan perwakilan pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penyanderaan pilot Susi Air telah menimbulkan dampak meluas, terutama bagi masyarakat di Papua yang menantikan pengiriman barang-barang kebutuhan pokok.
Sebab, sejak insiden itu, banyak perusahaan yang tidak berani untuk mengirimkan pesawat ke wilayah Nduga.
“Pemerintah mengalami kesulitan, karena kan transportasi udara menjadi terbatas. Kita mau mengirim bahan makanan dan lain-lain, obat-obatan, bahan untuk perkantoran, pendidikan, sekolah jadi tidak bisa.”
Theo menyatakan bahwa pemerintah tetap tegas dengan sikap mereka, bahwa sang pilot harus dibebaskan tanpa syarat.
“Saat ini negosiasi berlangsung dalam rangka melepas sandera. Terus itu sudah berjalan. Karena keselamatan pilot adalah yang utama,” kata Theo.
Sebelumnya, Kapolda Papua Irjen Mathius Fakhiri mengatakan pihak Kepolisian Daerah siap untuk memenuhi tuntutan TPNPB-OPM demi pembebasan pilot, kecuali ‘kemerdekaan‘ dan senjata.
“Tidak mungkin kami mengabulkan kedua permintaan itu namun untuk uang yang juga diminta akan disiapkan dan diserahkan kepada Egianus Kogoya asal sandera yang berkebangsaan Selandia Baru itu dibebaskan dan diserahkan ke aparat keamanan," ujar Mathius, seperti dikutip oleh kantor berita Antara, Kamis (29/6).
Ia menjelaskan saat ini negosiasi dengan TPNPB-OPM masih terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga Egianus Kogoya.
"Kami berharap Egianus tidak melakukan ancamannya yakni menembak pilot Susi Air tanggal 1 Juli mendatang," kata Fakhiri seraya menyatakan harapannya keluarga dapat membantu meyakinkan Egianus untuk tidak mengeksekusi tawanannya.
Sementara, konflik kekerasan di Papua tetap berjalan yang berkaitan dengan aspirasi kemerdekaan yang masih terus disuarakan beberapa faksi di kalangan penduduk Papua.
Konflik ini menelan korban bukan hanya dari pihak TPNPB-OPM, tetapi juga TNI dan warga sipil.
Menurut laporan Amnesty International Indonesia pada periode 2018 - 2022, terdapat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, sembilan anggota Polri dari delapan kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Pemerintah pusat menanggapi tuntutan kemerdekaan rakyat Papua dengan menerapkan otonomi khusus di daerah itu sejak 2000. Namun, tidak semua masyarakat Papua menerima kebijakan otonomi khusus karena dianggap tidak mengabulkan keinginan mereka.
Belakangan ini kebijakan otonomi khusus dikritik setelah muncul klaim bahwa dana otonomi khusus (Otsus) lebih dari triliunan dana otonomi khusus (Otsus) yang digelontorkan oleh pemerintah pusat kurang dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat Papua.
Bahkan pada 2018, Ketua Majelis Rakyat Papua menyebut puluhan triliun rupiah yang dikucurkan tiap tahun tak berdampak pada kesejahteraan warga asli Papua. [eta]