WAHANANEWS.CO, Semarang - Masalah ketenagakerjaan yang mencoreng wajah dunia pers kembali mengemuka, kali ini menimpa Suara Merdeka, media legendaris yang selama ini dikenal sebagai salah satu pilar jurnalisme di Indonesia.
Pada Selasa (29/7/2025), lima jurnalis tetap Suara Merdeka melaporkan perusahaan mereka ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah karena tak menerima gaji selama enam bulan terakhir.
Baca Juga:
Polda Metro Jaya Panggil Ulang Roy Suryo dan Dewan Pers soal Ijazah Jokowi
Kelima jurnalis yang telah bekerja sejak 2008 hingga 2010 itu, yakni Marlan, Aris, Wahid, Arif, dan Hendra, mengaku hanya menerima uang transport sebesar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per bulan, yang bahkan bukan gaji melainkan dana yang mereka minta langsung ke manajemen.
Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, mereka mengadukan dugaan pelanggaran hak pekerja yang mereka alami, seraya mendesak Dewan Pers untuk mencabut status verifikasi Suara Merdeka karena dinilai tak lagi layak menyandangnya.
"Kalau ini dibiarkan, hak pekerja di media bisa terus dilanggar," tegas Praditya Wibisono, Koordinator Divisi Ketenagakerjaan AJI Semarang, yang juga menyampaikan bahwa Dewan Pers harus segera bertindak tegas agar media lain tak mengikuti jejak serupa.
Baca Juga:
Pengurus PWI Pusat Akhirnya Berdamai, PWI Papua Barat Daya Sambut Baik Rencana Rekonsiliasi
Menurut Peraturan Dewan Pers No. 1 Tahun 2023, status verifikasi media seharusnya diperbarui secara berkala, sementara Suara Merdeka terakhir kali diverifikasi pada 2019.
Masalah ketenagakerjaan ini bukan muncul secara tiba-tiba; sejak 2012, kelima jurnalis tersebut hanya menerima gaji di bawah upah minimum kabupaten (UMK), dan saat pandemi COVID-19 melanda, gaji mereka bahkan dipotong menjadi hanya 55 persen dari gaji pokok dan dicicil hingga 2024.
Kondisi memburuk pada awal 2025 ketika gaji tak lagi dibayarkan sama sekali, membuat mereka mengalami kerugian total yang diperkirakan mencapai Rp140 juta per orang, menurut perhitungan LBH Semarang.
Rinciannya mencakup gaji di bawah UMK selama 2012–2019 sebesar Rp45 juta, pemotongan gaji saat pandemi sebesar Rp26 juta, dan tidak menerima gaji sejak 2022 hingga kini yang mencapai Rp71 juta.
“Ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tapi juga pelanggaran moral,” ujar kuasa hukum LBH Semarang, Amandela Andra Dynalaida, menyoroti bahwa kasus ini menunjukkan adanya ketimpangan akut dalam dunia kerja media.
Disnakertrans Jawa Tengah mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melakukan inspeksi ke kantor Suara Merdeka beberapa waktu lalu, dalam upaya pertama mereka mengawasi institusi media, meskipun manajemen Suara Merdeka hanya memberikan respons melalui Direktur Keuangan, Sumardi Suherman, yang menyebut telah berkoordinasi melalui HRD dan Direktur Operasional.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari manajemen terkait penyelesaian hak-hak jurnalis yang bersangkutan.
AJI dan LBH Semarang sepakat bahwa persoalan ini tak bisa lagi dianggap urusan internal perusahaan, melainkan krisis etik dan kemanusiaan yang mengancam pilar utama demokrasi.
“Bagaimana mungkin pers bisa independen kalau jurnalisnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dasar?” tanya Wibi dari AJI Semarang dengan nada prihatin, memperingatkan bahwa jika suara jurnalis bisa dibungkam melalui pengabaian hak-hak dasar mereka, maka siapa lagi yang akan menyuarakan kepentingan publik?
Dewan Pers diminta tidak tinggal diam dalam kasus ini karena status verifikasi bukan sekadar soal administrasi, melainkan juga tentang pengakuan terhadap etika, tanggung jawab, dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi pondasi keberlangsungan pers Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]