WahanaNews.co | Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa 3 saksi terkait perkara dugaan korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011 lalu.
"Saksi-saksi yang diperiksa antara lain DIH selaku Manager Keuangan Project Blast Fumace PT Krakatau Engineering sejak 28 September 2012 s/d 30 Juni 2016," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Kamis (24/3/2022).
Baca Juga:
PLN Gandeng Dua BUMN Untuk Genjot TKDN di Industri Trafo Dalam Negeri
Saksi kedua adalah MY selaku Project Procurament Manager PTKE sejak 2013 s/d 2015, Staf Direktur Bisnis & Operasi PT Krakatau Engineering sejak 2018- sekarang. Terakhir HP selaku Project Director Proyek Blast Furnace Krakatau Steel sejak 12 April 2016 - Oktober 2019,
"Mereka diperiksa terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011," ujarnya.
Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam Perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.
Baca Juga:
PLN Gandeng Dua BUMN Untuk Genjot TKDN di Industri Trafo Dalam Negeri
Dalam kasus ini, penyidik telah menaikkan statusnya menjadi penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022.
Posisi kasus tersebut berawal pada 2011 sampai dengan 2019 PT Krakatau Steel membangun Pabrik Blast Furnace (BFC) bahan bakar batubara untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah, karena dengan menggunakan bahan bakar Gas biaya produksi lebih mahal.
Pada 31 Maret 2011, dilakukan lelang pengadaan pembangunan Pabrik BFC yang dimenangkan Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering. Sumber pendanaan pembangunan Pabrik BFC awalnya dibiayai Bank Eksport Credit Agency (ECA) dari China.
Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek dimaksud karena Ebitda atau kinerja keuangan perusahaan PT Krakatau Steel tidak memenuhi syarat.
Pihak PT Krakatau Steel kemudian mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI, Mandiri, BNI, OCBC, ICBC, CIMB, dan LPEI.
Nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp 6.921.409.421.190 dan pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp 5.351.089.465.278 dengan rincian, porsi luar negeri Rp 3.534.011.770.896 dan porsi lokal Rp 1.817.072.694.382.
Pekerjaan pun dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019 dikarenakan pekerjaan belum 100 persen dan setelah dilakukan uji coba bahwa operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
Pekerjaan pun belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi alias mangkrak.
"PT Krakatau Steel melakukan pembangunan pabrik Blast Furnace dengan tujuan untuk peningkatan produksi baja nasional, proyek tersebut dimulai pada tahun 2011 sampai tahun 2015 dan dilakukan beberapa kali addendum sampai dengan tahun 2019," kata Ketut.
Adapun dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar dan berdasarkan hal tersebut, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [rin]