WAHANANEWS.CO, Medan - Polemik panas meletup di Sumatera Utara setelah Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus, melaporkan Wakil Ketua DPRD Deli Serdang, HS, ke Polda Sumut atas dugaan pencemaran nama baik di media sosial.
Kasus ini bermula dari pemberitaan berjudul “Bestie Politik” yang menyinggung kedekatan Erni dengan Gubernur Sumut Bobby Nasution dan dianggap melemahkan fungsi pengawasan legislatif.
Baca Juga:
Lahan 80 Hektar Dikuasai Ketua GRIB Jaya Sumut, Kini Dieksekusi Kejari Binjai
Postingan tersebut menuai komentar, salah satunya dari HS, yang kemudian dinilai Erni telah merusak nama baiknya, meski komentar itu juga ditanggapi oleh sejumlah warganet lain.
Pengamat politik Bakhrul Khair Amal menilai langkah Erni terlalu reaktif, bahkan menyebutnya belum menunjukkan kedewasaan berpolitik.
“Seharusnya dia bisa bertabayun dan berdiskusi lalu bertanya. Penyelesaian itu kan bisa dilakukan dengan perspektif kepemimpinan, karena akan dilihat nanti kedewasaannya dalam berpolitik,” kata Bakhrul dalam keterangan yang diterima, Senin (18/8/2025).
Baca Juga:
Menyabut Hari Kemerdekaan PLN Berikan Discon 50% ! Simak Info Lengkapnya
Menurut Bakhrul, bahasa yang dipakai dalam komentar media sosial itu sebenarnya tidak terlalu menyudutkan apalagi sampai menghina.
Ia menyarankan agar Erni berkonsultasi dulu dengan ahli bahasa sebelum melangkah ke ranah hukum.
“Dalam perspektif bahasa Indonesia salahnya di mana? Kata bestie itu artinya sahabat lalu disambung dengan komentar lain. Pasal yang mau dilihat itu kan pelecehan nama baik dalam UU ITE,” ujarnya.
Bakhrul mengingatkan agar kasus ini jangan dijadikan bahan oleh oknum tertentu untuk memicu kegaduhan politik di Sumut, khususnya sesama anggota dewan.
“Bahasa yang dipakai itu umum dan sering terdengar. Tidak ada tendensi, tapi tetap perlu dicek ahli bahasa. Kan bisa diselesaikan internal, kenapa harus sampai ke hukum. Takutnya malah dimanfaatkan kelompok tertentu,” ucapnya.
Ia menilai, laporan ke polisi justru membuat Erni terlihat tidak mampu mengendalikan masalah pribadi, apalagi persoalan yang lebih besar di Sumatera Utara.
“Jangan terus dibawa ke ranah hukum. Perbedaan pendapat itu biasa. Bhineka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Demokrasi gagal kalau perbedaan pendapat tidak bisa diterima,” katanya.
Bakhrul juga menuturkan bahwa komentar di media sosial bersifat multitafsir dan sebaiknya ditanyakan langsung kepada penulisnya.
“Harusnya ditanya maksudnya apa, biar tidak terjadi salah tafsir. Itu lebih bijak ketimbang buru-buru lapor polisi,” katanya.
Ia mengingatkan, Erni sebagai Ketua DPRD Sumut harus mampu menjaga keutuhan lembaga dan tidak menciptakan kegaduhan yang memperburuk citra di mata masyarakat.
“Lebih baiknya ini dibicarakan secara internal dulu, karena satu rumah tangga. Mereka bertemu dan berdialog apa yang terjadi, sehingga tidak menciptakan pandangan lain. Ketua DPRD Sumut harus bisa menjalankan perannya tanpa gaduh,” katanya.
Sementara itu, pengamat sosial politik Prasanti menambahkan bahwa tindakan Erni justru bisa menurunkan wibawa lembaga legislatif.
“Publik akan melihat, jika masalah komentar saja tidak bisa diselesaikan internal, bagaimana dengan masalah publik yang lebih kompleks. Seorang pemimpin harus menahan diri dan bijak menanggapi kritik,” jelas Prasanti.
Diketahui, baik Erni maupun HS sama-sama kader Partai Golkar Sumut, sehingga isu ini dikhawatirkan juga berkaitan dengan dinamika internal menjelang Musyawarah Daerah (Musda) partai.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]